TEMPO.CO, Jakarta - Tren bisnis berbasis teknologi digital (online) tak hanya merambah sektor transportasi. Di bidang logistik pun, sejumlah perusahaan aplikasi transportasi online menyediakan jasa pengiriman barang. Boleh jadi, hal ini menjadi ancaman bagi pengusaha logistik konvensional. Kendati mereka juga mulai mengembangkan aplikasi online, kehadiran jasa pengiriman barang berbasis aplikasi membuat persaingan semakin ketat.
Namun, bagi Presiden Direktur PT TIKI Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) Mohamad Feriadi, bertambahnya pelaku usaha logistik, terutama yang berbasis aplikasi, tak menjadi ancaman. “Kami justru melihat mereka sebagai peluang baru,” kata dia kepada wartawan Tempo Praga Utama dan fotografer Frannoto di kantornya, akhir Maret lalu.
Baca : Bos PT 3M Terkejut Produk Tiruan di Sini Mirip dengan Asli
Selama hampir satu jam, pria yang akrab disapa Feri ini mengungkapkan pandangannya soal bisnis logistik. Feri, yang juga menjabat Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Perusahaan Pengiriman Ekspres, Pos, dan Logistik Indonesia (Asperindo), mengomentari rencana pemerintah yang segera mengeluarkan paket kebijakan deregulasi sektor logistik. Berikut ini petikan wawancaranya.
Perusahaan transportasi berbasis aplikasi online kini punya jasa pengiriman barang. Perusahaan logistik asing juga semakin banyak. Bagaimana strategi JNE dalam menghadapi persaingan ini?
Kami harus membuat strategi dan inovasi baru agar berbeda dengan pesaing. Persaingan pun saat ini bukan lagi antarperusahaan, melainkan antar-platform, yang konvensional bersaing dengan yang digital. Namun kami melihat banyaknya pemain baru bukan sebagai ancaman. Kalau jeli, justru ada peluang baru yang bisa kami manfaatkan. Salah satunya, kerja sama.
Seperti apa bentuknya?
Perusahaan-perusahaan rintisan berbasis teknologi (start-up) punya kelebihan, yakni dana besar dan teknologi. Namun mereka belum memiliki jaringan. Padahal, dalam bisnis logistik, membangun jaringan itu butuh waktu lama. JNE punya kelebihan karena menjadi top of mind atau pilihan utama konsumen untuk jasa pengiriman barang. Karena itu, kami ingin menjembatani perusahaan online yang merambah ke sektor ini. Sekarang bisnis tak mungkin jalan sendiri. Bukan saatnya berkompetisi, kini zamannya berkolaborasi.
Baca : Dirut BTN, Maryono : Kredit Mikro untuk Warga Miskin
Inovasi apa yang dilakukan JNE agar bisa bersaing dengan pendatang baru?
Interaksi dengan pelanggan harus semudah mungkin. Kami juga mengembangkan aplikasi Internet agar konsumen lebih mudah melacak kiriman dan mencari lokasi JNE terdekat. Kami juga bekerja sama dengan pop box alias loker (lemari) pintar. Kini, barang bisa ditinggalkan di pop box, penerima akan mendapatkan password untuk loker itu dan bisa kapan saja membukanya. Demi memberi kepastian kapan barang akan dikirim dan diterima untuk konsumen, kami mengembangkan sistem pemberitahuan SMS gratis. Akan ada notifikasi saat barang dikirim, transit, dan diantar.
Apakah JNE akan membuka kerja sama dengan aplikasi online atau perusahaan e-commerce?
Peluang kolaborasi tetap terbuka. Kami sudah banyak bekerja sama dengan perusahaan lain, bahkan dengan pemerintah. Misalnya pengiriman logistik pemilu. Kami terbuka untuk setiap segmen.
Tahun ini JNE akan menambah investasi Rp 500 miliar, untuk apa saja?
Kami akan menambah jaringan dan membangun gudang baru. Ini bagian dari capacity planning, karena kapasitas yang ada sudah tidak cukup untuk menampung potensi dari bisnis yang akan datang. Apalagi, karena e-commerce terus berkembang, kami harus mengembangkan kapasitas agar mendapatkan porsi yang lebih besar dalam bisnis ini.
Dalam sebulan, JNE menangani 16 juta kiriman, apakah hal itu sudah melebihi kemampuan saat ini?
Belum. Tapi kami harus tetap menambah kapasitas untuk mengantisipasi lonjakan, misalnya saat menjelang Ramadan. Kami ingin menjaga posisi agar kapasitas kami tetap besar agar tidak kelebihan beban. Kami yakin, potensi dalam industri logistik akan terus naik. Tahun ini saja kami memperkirakan pertumbuhan bisnis bisa 30-40 persen, ditunjang kenaikan transaksi e-commerce. Ruang pertumbuhannya masih sangat besar.
Baca : Ilmuwan Ungkap Cara Mendeteksi Bisnis Hoax
Dalam waktu dekat, pemerintah akan mengeluarkan paket kebijakan deregulasi di bidang logistik. Apa yang Anda harapkan dari paket ini?
Kebetulan Asperindo dipercaya oleh pemerintah untuk menjadi mitra diskusi terkait dengan penyusunan paket kebijakan ini. Salah satu yang kami usulkan adalah peninjauan kembali aturan Regulated Agent (RA). Pasca-peristiwa 11 September di Amerika, ada aturan baru di sektor logistik yang mewajibkan kargo yang akan masuk pesawat diperiksa dengan mesin x-ray. Indonesia sudah meratifikasi aturan internasional itu. Sayang, RA dikelola swasta yang berorientasi profit. Tarifnya lumayan mahal, Rp 800 per kilogram di Jakarta, dan dibebankan kepada konsumen. Kami memberikan masukan, seharusnya urusan ini dikelola pemerintah sehingga tarifnya lebih murah.
Tahun lalu juga Bank Dunia melaporkan logistic performance index Indonesia merosot dari peringkat ke-53 menjadi ke-63. Apakah ongkos ini jadi penyebabnya?
Betul. Itu disebabkan keberadaan RA. Selain biaya RA, pemicu turunnya logistic index adalah biaya tinggi dalam pengiriman barang akibat kemacetan dan infrastruktur yang kurang baik. Ada juga aturan-aturan yang timpang-tindih, dan pungutan-pungutan yang membebani cost yang akan berdampak pada konsumen. Kapasitas terminal kargo di banyak bandara di Indonesia juga tidak bertambah, padahal volume kargo terus naik setiap tahun.
Anda mengatakan saat ini sudah saatnya berkolaborasi. Lalu, apa yang dilakukan Asperindo untuk mendorong kolaborasi antarperusahaan jasa pengiriman?
Kami sedang mengembangkan platform bernama Asperindo Logistic Integrated Solution (ALIS). Platform ini bisa dimanfaatkan para pengusaha logistik skala kecil yang jaringannya tidak terlalu luas. ALIS memungkinkan pengusaha kecil mengirim barangnya ke luar negeri, bekerja sama dengan perusahaan yang jaringannya lebih luas.