TEMPO.CO, Yogyakarta-Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X khawatir efek positif Bandara Kulon Progo tak bisa dirasakan oleh wilayah lain di Yogyakarta yang jaraknya jauh dari bandara.
Misalnya Kabupaten Gunungkidul yang terpaut sekitar 70-80 kilometer dari bandara. “Harus dibuat isu dan daya tarik sendiri bagi Gunungkidul agar turut merasakan manfaat Bandara Kulon Progo,” ujar Sultan di sela menghadiri acara Kolaborasi Pemangku Kepentingan menyambut Bandara Kulon Progo di Hotel Ambarrukmo Yogyakarta, Kamis, 30 Maret 2017.
Dalam acara yang melibatkan asosiasi biro perjalanan wisata se Yogyakarta tersebut, Sultan mengusulkan adanya jejaring pariwisata yang bisa mengaitkan Gunungkidul sebagai bagian pemasaran wisata pascabandara beroperasi.
Baca: Ganti Rugi Rp 4,1 T, Warga Kulon Progo Diminta Tak Konsumtif
Misalnya, ujar Sultan, Yogya bisa belajar dari Bali yang membangun jejaring perhotelan berkonsep internasional di kawasan Nusa Dua sehingga turis tidak terpaku di satu titik wisata Bali. “Yang penting saat dibawa ke Gunungkidul, turis asing merasa tidak ada masalah terkait layanan pariwisata itu,” ujarnya.
Ketua Association Of The Indonesian Tours ans Travel Agencies (ASITA) DIY Udi Sudiyanto menuturkan tengah melakukan pendekatan dengan Pemerintah Kabupaten Gunungkidul terkait isu Bandara Kulon Progo. “Kami sedang membuat program untuk Gunungkidul yang nanti tak bisa ditemukan di wilayah lain DIY, sehingga ada alasan turis mancanegara di bawa ke sana,” ujar Udi.
Simak: Bangun Bandara Baru, Pura Pakualaman Dapat Ganti Rugi Terbesar
Udi berujar letak geografis Gunungkidul yang terlalu jauh dari bandara berpotensi tidak terlirik. Apalagi primadona destinasi wisata DIY untuk turis asing sudah terlanjur hanya ter-branding di Kota Yogya dan Kabupaten Sleman yang sarana dan prasarana lebih memadai.
Terlebih, jarak Bandara Kulon Progo ke Candi Borobudur relatif sama jauhnya dibandingkan jarak bandara ke Gunungkidul. “Yang bisa dijual pada turis dari Gunungkidul adalah potensi alam yang luar biasa, khususnya geopark nya yang sudah diakui Unesco,” ujar Udi.
Udi mencontohkan wisata Gunung Api Purba Nglanggeran yang termasuk geopark andalan Gunungkidul. Seharusnya, ujar Udi, ada transfer pengetahuan dari pakar geologi ke pelaku jasa wisata. Untuk mengetahui seluk beluk Gunung Api Purba, seperti proses terbentuknya, jenis bebatuan purba, dan lainnya. “Setidaknya pelaku wisata tahu product knowledge Gunung Api Purba Nglanggeran itu,” ujarnya.
Lihat: Ganti Rugi Bandara Rp 727 M, Begini Reaksi Puro Pakualaman
Udi menyesalkan sejumlah obyek wisata di Gunungkidul seperti air terjun Sri Gethuk justru tak mempertahankan potensi lokal dan mulai beralih ke fasilitas modern untuk melayani turis. Misalnya penggunaan rakit bambu untuk menyusuri sungai yang sudah diganti mesin.“Turis butuh sesuatu yang alamiah, lokal, dan tak bisa ditemukan di daerah lain,” ujarnya.
Direktur Komersial dan Pengembangan Usaha PT Angkasa Pura 1 Mochammad Asrori menuturkan dari data kedatangan turis manca yang tercatat di delapan bandara di Indonesia, pertumbuhan kunjungan melalui Bandara Adisutjipto Yogyakarta berada di urutan ke tiga pada periode 2016 lalu. “Kunjungan turis manca ke Yogya lewat bandara Adisutjipto sebesar 37,5 persen,” ujar Asrori.
Baca juga: Nilai Ganti Rugi Lahan Bandara Kulon Progo Rp 4,08 Triliun
Jika jumlah kedatangan turis manca melalui pintu kedatangan di bandara Adi Sutjipto pada 2015 sebesar 83 ribu orang, kata dia, maka pada 2016 tercatat meningkat menjadi 114 ribu orang.
Namun tren kunjungan turis manca via bandara Adi Sutjipto Yogya terus meningkat. Jika pada periode Januari 2016 kunjungan sebulan tercapai 6.697 turis, maka pada Januari 2017 mencapai 9.555 atau meningkat 42 persen.
PRIBADI WICAKSONO