TEMPO.CO, Semarang -- Pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah pada triwulan IV 2016 atau akhir tahun lalu mencapai Rp 275.88 triliun. Angka ini berdasarkan Dasar Harga Berlaku, dengan total nominal selama 2016 mencapai Rp 1.092,03 triliun.
“Pada triwulan IV 2016, Produk Domestik Regional Bruto Jawa Tengah menyumbang 8,64 persen terhadap perekonomian nasional, atau 14,56 persen terhadap perekonomian Jawa,” kata Hamid Ponco Wibowo, Kepala kantor perwakilan Bank Indonesia Jawa Tengah dalam siaran pers, Rabu 22 Maret 2017.
Hamid menjelaskan, pangsa ini berada pada urutan keempat, setelah DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat. “Ini tidak berubah dari periode ke periode, maish tetap ke empat” kata Hamid menambahkan.
Menurut Hamid, pada waktu yang sama ekonomi Provinsi Jawa Tengah mencatatkan pertumbuhan 5,33 persen dari tahun ke tahun, dengan pencapaian lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 5,01 persen.
Hamid menjelaskan, walaupun lebih rendah dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 6,10 persen, namun secara triwulanan perekonomian Jawa Tengah mengalami kontraksi 2,37 persen atau lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yang mencatatkan kontraksi 2,66 persen.
Pertumbuhan ekonomi di Jateng itu dinilai berbeda dengan perekonomian nasional dan kawasan Jawa yang justru tumbuh melambat. Hamid menjelaskan pertumbuhan ekonomi nasional tercatat sebesar 4,94 persen, melambat dari tingkat pertumbuhan 5,02 persen dalam setiap tahun pada triwulan sebelumnya.
“Sementara perekonomian Kawasan Jawa mencatatkan pertumbuhan 5,45 persen per tahun setelah tumbuh 5,70 persen pada triwulan III 2016,” kata Hamid.
Hamid menyebutkan pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran juga menunjukan Jawa Tengah masih ditopang konsumsi rumah tangga dengan pangsa 61,05 persen. Pembentukan modal tetap bruto atau investasi juga berkontribusi signifikan sebesar 30,54 persen.
Sedangkan ekspor luar negeri berkontribusi sebesar 8,66 persen, dan pengeluaran konsumsi pemerintah sebesar 8,05 persen. Selain itu pangsa impor luar negeri sebagai elemen pengurang dalam perekonomian Jawa Tengah, juga cukup besar, yaitu mencapai 14,57 persen.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Jateng, Frans Kongi, menyebutkan biaya impor yang terjadi selama ini diakui banyak mengurangi pertumbuhan ekonomi di Jateng, khususnya untuk bahan baku industri pengolahan non-pertanian. “Bahannya harus beli, itu harus disesuaikan dengan mata uang dolar,” kata Frans.
Hal itu berdampak pada pegeluaran yang berkurang untuk sektor tenaga kerja karena digunakan untuk belanja bahan baku. “Kadang malah ada pengusaha yang merumahkan pekerja karena untuk memutar belanja bahan baku,” kata Frans.
Tercatat sejumlah industri di Jateng yang masih tergantung bahan baku asing di antaranya industri kaca, tekstile dan baja.
EDI FAISOL