TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Trader Gas Indonesia (INGTA) meminta pemerintah mengkaji ulang rencana pengaturan keuntungan bisnis niaga gas. Regulasi yang menetapkan batas atas keuntungan distribusi gas sebesar 7 persen itu dinilai asosiasi tidak efektif menurunkan harga.
"Pembatasan margin tidak integral, hanya mencakup sektor niaga. Padahal 92 persen harga berasal dari sisi hulu dan biaya transmisi," ujar Ketua Asosiasi Sabrun Jamil Amperawan kepada Tempo, Selasa, 21 Maret 2017.
Baca: Pengamat: Impor Tidak Menjamin Harga Gas Turun
Sabrun mencontohkan distribusi gas di Jawa Barat. Di wilayah ini, harga di tingkat konsumen mencapai US$ 9 per million metric British thermal unit (MMBTU). Komponen harga terbesar berasal dari hulu US$ 7,16 per MMBTU. Sedangkan biaya transportasi US$ 1,1 per MMBTU. Adapun distributor hanya kebagian US$ 0,74 per MMBTU.
Baca: Jokowi: Baru Tiga Industri Nikmati Harga Gas Murah
Dengan demikian, ia menambahkan, meski biaya distribusi dipangkas habis, harga akan turun menjadi US$ 8,26 per MMBTU. Angka itu masih lebih tinggi dari batas harga yang dipatok dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 sebesar US$ 6 per MMBTU.
Sabrun meyakini pengusaha niaga gas tidak bisa menaikkan harga begitu saja karena berisiko mengurangi penjualan. Asosiasi mencatat penyerapan gas untuk kebutuhan industri hanya mencapai 50 persen dari alokasi yang diberikan pemerintah. Kondisi ini membuat pedagang gas tidak menikmati keuntungan.
"Bahkan, di Jawa Timur, harga gas dari Blok WMO (West Madura Offshore) dan biaya transmisi US$ 8,1 per MMBTU. Tapi kami terpaksa menjual US$ 8 per MMBTU. Sebab, kalau di atas itu, konsumen enggak mau beli," ujarnya.
Menurut Sabrun, pemangkasan harga yang efektif adalah di sektor hulu. Wacana ini pernah didengungkan pemerintah pada 2015 dengan mengurangi penerimaan gas negara di beberapa lapangan migas. Namun, hingga sekarang, rencana tersebut belum terealisasi.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral justru menyatakan sektor hilir yang tidak tertata membuat harga gas mahal. Karena itu, pemerintah menganggap pembatasan margin diperlukan supaya harga gas bisa bersaing dengan bahan bakar minyak. "Harga di hulu migas hanya US$ 6 per MMBTU, tapi di konsumen bisa US$ 14 per MMBTU. Padahal jaraknya hanya 20 kilometer. Artinya, ada transaksi yang berlapis-lapis," ucap Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi I Gusti Nyoman Wiratmaja, akhir pekan lalu. Dia ogah memastikan kapan regulasi mengenai gas akan rampung.
Selain merugikan konsumen, masalah margin niaga dinilai merugikan pebisnis hulu migas karena membuat penyerapan gas mandek. Padahal, kata Wiratmaja, industri tersebut menanggung risiko tinggi dan biaya besar. Sedangkan di sektor hilir, operasional pebisnis hanya membangun pipa. "Cuma membangun pipa, mengambil kentungannya jangan banyak-banyaklah," ucapnya.
Kebijakan lain untuk menekan harga gas adalah mewajibkan distributor gas memiliki infrastruktur. Kementerian Energi memberi tenggat hingga 2018. Jika masih ada perusahaan yang ogah membangun pipa, izin usahanya bakal dicabut.
Kebijakan penurunan harga gas industri masuk dalam paket kebijakan ekonomi ketiga. Namun, sampai sekarang, harga gas baru turun bagi enam perusahaan di sektor baja, pupuk, dan petrokimia.
ROBBY IRFANI