TEMPO.CO, Jakarta -
Sejumlah wakil dari pelaku ekonomi digital akan duduk bersama membahas sistem keuangan digital (financial technology) dalam sebuah seminar dan talkshow di Jakarta. Dalam acara bertajuk Indofintech 2017 : Strategi Merebut Pasar Indonesia, yang akan berlangsung di Wisma Antara, Jakarta, pada 30 Maret ini, Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman Hadad akan menjadi pembicara utama. Pembicara lain adalah Hendrikus Passagi, Peneliti Senior Departemen Kebijakan Strategis OJK, Yosamartha, Direktur Fintech Office Bank Indonesia, dan Bhima Yudhistira Peneliti Indef, Ajisatria Sulaiman, Direktur Asosiasi Fintech Indonesia.
Acara ini berlangsung dengan latar belakang makin pesatnya ekosistem ekonomi digital. Pihak Royal Mediacomm, salah satu penyelenggara acara, dalam siaran persnya menyebut era digital itu melahirkan berbagai tantangan. Era bisnis digital sempat marak pada akhir 1990-an, melahirkan satu era yang disebut era “dotcom”. Namun era ini praktis tengelam pada awal tahun 2000-an. Penyebabnya, pebisnis dotcom belum memiliki model bisnis yang pas. Lebih penting lagi, infrastruktur penunjang bisnis ini belum terbentuk. Misalnya, sistem pembayaran dan distribusi, masih konvensional. Pembeli harus melakukan transfer perbankan ke ATM atau teller untuk membayar. Penyebab lain surutnya bisnis digital saat itu adalah belum adanya regulasi.
Sekarang situasi sudah sangat berbeda. Infrastruktur sudah lengkap, masyarakat pun telah melek internet. Mengutip data Statista.com, nilai transaksi perusahaan teknologi keuangan alias financial technology (fintech) tahun ini diperkirakan mencapai US$ 18,65 miliar atau Rp 251,77 triliun (asumsi kurs Rp 13.500 per dollar AS). Dari jumlah itu, sekitar US$ 18,61 miliar merupakan kontribusi pembayaran digital.
Dengan pertumbuhan rata-rata per tahun mencapai 18,8%, diperkirakan tahun ini 2021 nilai transaksi akan mencapai US$ 37,15 miliar atau Rp 501,52 triliun. Jelas, ini potensi bisnis yang luar biasa. Angka tersebut diperkirakan akan terus bertumbuh. Menurut Peneliti Indef Bhima Yudhistira, total kebutuhan pembiayaan nasional adalah Rp 1.649 triliun. Sementara kapasitas perbankan hanya Rp 660 triliun. Selisih Rp 989 triliun itu bisa di isi oleh ekosistem keuangan digital (fintech).
Industri berbasis fintech juga tumbuh pesat. Bank Indonesia (BI) mencatat, tahun lalu ada 142 perusahaan fintech. Dari sisi kewenangan dan pengaturan, sebagaimana di industri keuangan konvensional, BI dan OJK berbagi tugas. Bentuk fintech berupa pembayaran, clearing dan settlement, mencakup pola pembayaran berbasis mobile dan juga web, merupakan wewenang BI untuk mengatur.
Ada pun jenis fintech yang lain merupakan kewenangan OJK. Otoritas ini telah mengeluarkan Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 pada akhir Desember 2016. Penyelenggara fintech P2P lending diharapkan dapat membuka akses dana pinjaman, baik dari luar negeri maupun dari berbagai daerah di dalam negeri. Selain itu, penyelenggara juga diharapkan dapat memperbaiki tingkat keseimbangan dan mempercepat distribusi pembiayaan bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Seluruh aspek itulah yang akan dibahas dalam Indofintech 2017 nanti.
DP