TEMPO.CO, Jakarta - PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) bersama PT Pertamina (Persero) dan Toyota Motor Corporation bermitra mengembangkan rumput gajah sebagai bahan baku biofuel atau biomass napier grass.
Sejak dijalin 2015, kerja sama ini telah memasuki tahap riset yang ditandai dengan pelaksanaan panen rumput gajah siklus kedua hari ini di Majalengka, Jawa Barat.
Direktur Pengembangan Usaha dan Investasi PT RNI Agung P. Murdanoto mengatakan kerja sama itu merupakan upaya menghadapi pergeseran tren konsumsi energi dunia ke depan menuju energi terbarukan dengan bersumber pada pemanfaatan biomass salah satunya.
Menurut dia, kerjasama ini sangat strategis mengingat para pengamat telah memprediksi cadangan energi fosil dunia, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, akan habis pada 2050.
"Kami akan lihat hasilnya setelah panen siklus ketiga di bulan Juni 2017. Sejauh ini, dibanding tanaman lain, produktivitas dan cara budidaya rumput gajah adalah yang paling low cost,” kata Agung dalam siaran pers, Kamis (9 Maret 2017).
Awal kerja sama kemitraan ditandai dengan penanaman rumput gajah di lahan hak guna usaha seluas 7 hektare milik anak perusahaan PT RNI, yakni PT PG Rajawali II di Majalengka.
Panen perdana telah dilakukan pada 6 Oktober 2016 dengan capaian produksi 103,40 ton. Adapun untuk panen kedua, perusahaan memprediksi peningkatan produksi menjadi 118.66 ton.
“Melalui Puslit Agro (Pusat Penelitian Agro), kami akan evaluasi terus agar kandungan rendemen dan produktivitasnya semakin baik pada panen ketiga,” kata Agung.
Lebih lanjut, Agung mengatakan prioritas kerja sama tersebut adalah sinergi potensi masing-masing pihak. PT RNI memiliki lahan perkebunan dan pengalaman dalam budidaya tanaman yang didukung oleh Puslitagro di Majalengka. Sementara itu, Pertamina sebagai BUMN produsen dan distributor bahan bakar terbesar se-Indonesia memiliki kompetensi dan jaringan distribusi yang sangat luas. Begitu juga dengan Toyota Motor Corporation yang memiliki fasilitas teknologi tinggi.
Adapun target yang ingin dicapai melalui kerja sama adalah memproduksi second generation biofuel yang betul-betul bersumber dari bahan baku nonpangan atau limbah.
“Untuk first generation biofuel sendiri telah banyak dikembangkan. Sayangnya, seringkali menemui hambatan bahan baku karena bersumber dari bahan-bahan nabati yang masih bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan pangan lainnya. Second generation biofuel dapat menghindari pertentangan antara food dan fuel,” jelas Agung.
Agung menerangkan pemilihan rumput gajah sebagai komoditas dalam kerja sama itu tidak terlepas dari rendemen etanol yang tinggi sehingga cocok digunakan sebagai salah satu bahan pembuat biofuel.
Selain itu, produktivitasnya yang tinggi membuat rumput gajah dapat dipanen sampai tiga kali dalam setahun. Selama ini, rumput gajah lebih banyak dimanfaatkan sebagai makanan ternak, bahkan kadang dibiarkan tumbuh secara liar.