TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia Surya Darma meminta pemerintah meninjau kembali penerapan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Regulasi itu dinilai Surya justru menghambat investasi energi bersih. "Daya tarik (bisnis energi bersih) harus kita pikirkan," kata Surya dalam dialog Dewan Energi Nasional di Jakarta pada Kamis, 2 Maret 2017.
Surya juga menyatakan sudah berdiskusi dengan pihak perbankan. Hasilnya, pihak bank tidak mau mendanai proyek energi bersih yang memakai tarif baru lantaran tidak menjamin pengembalian modal.
Baca: Dapat Email dari Kantor Pajak? Jangan Panik
Menurut dia, pengembangan energi bersih tidak bisa disamakan dengan bisnis biasa. Sebab, dalam pasar ketenagalistrikan, para pengusaha hanya berhadapan dengan satu pembeli, yaitu PT PLN (Persero). Surya menilai peranan PLN dalam menentukan tarif sangat besar. Diketahui dalam regulasi, harga listrik energi bersih dihitung berdasarkan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) pembangkitan listrik yang dirumuskan PLN.
Konsep inilah yang juga ditentang Surya. Menurut dia, sumbangan energi fosil dalam perhitungan BPP cukup dominan, yakni gas sebesar 49,5 persen, batu bara 33,5 persen, dan BBM 13 persen. "Dalam konteks ini, energi bersih terkesan harus memberikan subsidi untuk energi fosil," tuturnya, seperti diberitakan Koran Tempo, Jumat, 3 Maret 2017.
Simak: Aramco Jadi Perusahaan Migas Terbesar, Ini Sejarahnya
Pengusaha panas bumi juga menolak aturan ini. Ketua Asosiasi Panas Bumi Abadi Purnomo mencatat, lantaran kebijakan tarif berubah, ada tiga pengembang yang menunda pembangunan pembangkit listrik geotermal.
"Semuanya pengusaha swasta, tidak ada yang BUMN," kata Abadi, yang juga anggota Dewan Energi Nasional.
Abadi menyorot Pasal 11 yang mengatakan kontrak jual-beli listrik panas bumi baru bisa ditandatangani jika pengembang sudah memiliki cadangan terbukti. Padahal, untuk memperoleh cadangan terbukti, pengusaha harus melakukan pengeboran eksplorasi. Rata-rata biaya pengeboran mencapai US$ 8-10 juta per sumur. Jika eksplorasi gagal, risiko menjadi tanggung jawab pengembang.
Simak: Menhub: Pemerintah Kebut Proyek MRT
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan berkukuh tidak akan mengubah kebijakan tarif energi bersih. Sebab, menurut dia, cara ini yang paling adil untuk mengembangkan energi bersih tanpa risiko menaikkan tarif dasar listrik.
Jonan mengatakan kebijakan insentif harga jual justru berisiko membuat tarif listrik melonjak. Akibatnya, masyarakat berpenghasilan rendah di daerah terpencil ogah memasang listrik karena mahal.
"Jadi kita harus kompromi, apakah pengusaha yang mau diutamakan atau kemampuan membayar listriknya? Kalau ada kabel listrik di depan rumah masyarakat lalu tidak bisa beli, rasa ketidakadilannya luar biasa."
Simak: Saluran Kredit Perbankan, Korporasi Masih Berisiko
Kebijakan baru juga dianggap Jonan lebih berpihak pada pengembangan listrik di daerah Indonesia Timur. Berdasarkan catatannya, biaya pembangkitan listrik di daerah Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara di atas US$ 13 sen per kilowatt jam. Angka itu jauh melebihi BPP rata-rata sebesar US$ 7,5 sen per kilowatt jam.
Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir menjamin tarif baru energi bersih menguntungkan perusahaannya. Sofyan berujar, jika pengusaha ogah membangun pembangkit energi bersih, PLN siap mengambil alih.
"Pemerintah boleh tentukan kapasitasnya berapa dan kapan beroperasi. Kalau terjadi sesuatu, PLN bisa melakukan subsidi silang, kata dia."
Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional, pada 2025 mendatang, penggunaan energi bersih dalam produksi listrik harus mencapai 25 persen. Per 2015 lalu, sumbangannya masih sekitar 10 persen.
ROBBY IRFANY