TEMPO.CO, Jakarta - Pengacara Otto Hasibuan bersama anggota dari Perhimpunan Advokasi Indonesia (Peradi) hari ini mengadakan audiensi dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan. Sayangnya pertemuan tersebut berlangsung tertutup dan berlangsung sekitar dua jam dari pukul 09.00 WIB hingga 11.00 WIB. Meski demikian, usai pertemuan Otto dan tim advokat bersedia untuk memberikan keterangan kepada awak media.
Pengacara yang terkenal namanya sebagai kuasa hukum kasus “kopi sianida” yang melibatkan terpidana Jessica Kumala Wongso itu menuturkan, pertemuan tersebut dilakukan untuk membahas advokasi mereka terhadap Pemerintah Indonesia dalam menghadapi gugatan PT Freeport Indonesia dalam proses arbitrase internasional.
Baca : Tak Ada Operasi, Ribuan Pekerja Kontrak Freeport Dirumahkan
“Kami mewakili dari Peradi bersama seluruh advokat Indonesia, bertemu dengan pak Menteri, sehubungan dengan adanya persoalan antara pemerintah dengan Freeport. Kami tahu masalah pemerintah dengan Freeport ini sudah cukup lama terjadi,” kata Otto di Kantor Kementerian ESDM, Senin, 27 Februari 2017.
Sebelumnya, Chief Executive Officer Freeport-McMoran, Richard Adkerson, menyatakan perusahannya memberikan waktu 120 hari kepada Indonesia untuk mempertimbangkan perbedaan yang terjadi antara Pemerintah Presiden Joko Widodo dan Freeport. Waktu 120 hari tersebut terhitung dari pertemuan terakhir kedua belah pihak pada Senin, 13 Februari 2017. Jika tidak, maka Freeport akan membawa permasalahan kontrak ini ke dalam arbitrase internasional.
Baca : Sektor Pertanian Bisa Jadi Andalan Atasi Ketimpangan
Menurut Otto, persoalan Indonesia dengan Freeport tak kunjung usai, salah satunya saat Rizal Ramli menjabat sebagai Menteri Koordinator Kemaritiman, kemudian muncul perkara hukum “papa minta saham”, membuat persoalan negara dengan perusahaan tambang kontrak karya asal Amerika Serikat itu semakin kisruh.
Otto mengatakan, pihaknya senang sekali dapat menemui Menteri Jonan untuk memberikan dukungan kepada pemerintah, agar divestasi saham Freeport sebanyak 51 persen dapat dilaksanakan oleh Freeport, dengan sistem satu pintu, yakni melalui Keputusan Menteri ESDM. Sehingga kedaulatan hukum dan kedaulatan mengenai sumber daya alam di Indonesia dapat segera tercapai.
“Oleh karena itu kami sebagai advokat ingin memberikan dukungan penuh kepada pemerintah dan akan juga melakukan aksi-aksi hukum. Bhkan tadi pak J onan mengatakan, disamping juga arbitrase, beliau juga akan melibatkan Peradi dengan jaksa agung untuk proses-proses arbitrasenya,” tutur Otto.
Baca : Pemerintah Siapkan Inalum untuk Kelola Freeport
Untuk diketahui, pada 11 Januari 2017 lalu Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas PP Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara atau biasa disingkat PP Minerba.
PP ini menegaskan perusahaan pemegang kontrak karya (KK) harus memurnikan mineral di Indonesia. Jika tidak membangun smelter maka dilarang ekspor. Kemudian jika ingin tetap ekspor harus mengubah statusnya dari KK menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Dengan menjadi IUPK, maka Freeport juga berkewajiban melepas 51 persen sahamnya kepada Indonesia tahun ini.
Pada 25 Januari 2017 lalu, perusahaan tambang emas dan tembaga ini juga sempat menyatakan mempertimbangkan langkah hukum (legal action) untuk menggugat pemerintah Indonesia. Langkah itu menyusul perusahaan tidak mendapatkan izin ekspor. Sebab berdasarkan KK, Freeport memiliki hak untuk mengekspor konsentrat tembaga tanpa pembatasan atau kewajiban membayar bea ekspor.
DESTRIANITA