TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah harus memfokuskan pembangunan di sektor pertanian dan industri pengolahan untuk mengatasi ketimpangan ekonomi. Kedua sektor ini mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak dibanding sektor lain, seperti keuangan.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, mengatakan ketimpangan ekonomi semakin tinggi sejak krisis 1997. Kondisi ini dipicu kebijakan ekonomi pemerintah yang mayoritas terpusat pada sektor keuangan. Akibatnya, fokus pemerintah terhadap pemerataan kesejahteraan terabaikan.
Baca: Sebelum Raja Saudi Datang, Darmin Bawa Delegasi ke Iran
Menurut dia, pada saat reformasi dilakukan, pemerintah berfokus pada penyehatan sektor keuangan. “Di sektor ini, penyerapan tenaga kerjanya kecil. Akhirnya, pengangguran masih tinggi,” kata Eko kepada Tempo, Ahad, 26 Februari 2017.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan rasio Gini pada 2016 turun 0,01 persen menjadi 0,40 dibanding pada rentang 2011–2015 sebesar 0,41 persen. Data ini menunjukkan standar pemerataan pendapatan dan kekayaan dengan level 0 hingga 1. Semakin besar nilainya, ketimpangan semakin tinggi.
Menurut Eko, ketimpangan Indonesia masih dalam kategori sedang. Kendati demikian, level ini memiliki potensi konflik lebih rawan dibanding negara dengan rasio Gini rendah. “Negara dengan indeks Gini 0,4 mempunyai potensi konflik meningkat 50 persen. Kalau dibiarkan, lama-lama bisa mengancam persatuan,” kata Eko.
Baca: Pemerintah Siapkan Inalum untuk Kelola Freeport
Berdasarkan analisis Indef, ketimpangan terus terjadi lantaran sebagian besar lahan dan aset dikuasai korporasi. Individu miskin tak mampu memiliki aset untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Petani, misalnya, rata-rata hanya memiliki sawah seluas 0,3 hektare. Sebagian besar pekerja di Jakarta harus tinggal di kota lain lantaran jumlah lahan yang terbatas dan harga properti mahal.
Akhir pekan lalu, laporan Internatioal NGO Forum on Indonesian Development (Infid) dan Oxfam mengungkapkan, jumlah orang kaya Indonesia terus bertambah dari satu orang pada 2002 mencapai 20 orang pada 2016. Kekayaan total empat orang di antaranya mencapai US$ 25 miliar atau lebih dari kekayaan 100 juta penduduk termiskin.
Dari bunga kekayaan saja, para triliuner ini meraup keuntungan lebih dari 1.000 kali lipat pengeluaran rakyat Indonesia termiskin selama setahun. Kekayaan yang mereka dapatkan setahun terhitung dapat menghapus kemiskinan ekstrem di Indonesia. “Jika ketimpangan tidak segera diatasi, upaya keras pemerintah menurunkan kemiskinan akan terhambat dan bisa menyebabkan ketidakstabilan di masyarakat,” kata Direktur Infid Sugeng Bahagijo, akhir pekan lalu.
PUTRI ADITYOWATI | DESTRIANITA