TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional atau Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro mengatakan pemerintah selalu terpaku pada data statistik, baik data sensus maupun data survei, untuk melakukan analisis sebuah kebijakan. Menurut dia, data statistik penting.
Namun, Bambang mengatakan, perkembangan digital saat ini menuntut pemerintah menggunakan data dengan cara yang berbeda. "Data statistik punya keterbatasan, yaitu pada ketersediaan," kata Bambang dalam Konferensi Revolusi Data di Hotel Pullman, Jakarta, Selasa, 21 Februari 2017.
Bambang berujar, data tersebut bukannya tidak tersedia. Tapi data statistik baru tersedia setelah melalui proses tertentu. "Misalnya data inflasi Januari baru diketahui saat BPS mengumumkan pada 1 Februari. Padahal, di era digital, masyarakat ingin tahu secara real time yang secara statistik tidak mungkin," tuturnya.
Baca: Media Sosial Akan Jadi Sumber Data Baru Pemerintah
Dengan keterbatasan data statistik tersebut, menurut Bambang, revolusi data melalui big data atau data sosial begitu mendesak. Big data, kata dia, bukan berarti harus memiliki skala yang besar. "Yang lebih penting, data ini bisa menangkap kejadian yang real time dan langsung membuat analisis berdasarkan persepsi atau reaksi masyarakat," katanya.
Direktur United Nation (UN) Global Pulse Robert Kirkpatrick berujar, penggunaan teknologi analisis data yang mutakhir, termasuk big data, penting dalam pembuatan kebijakan. “Big data dapat mengubah sudut pandang pembuat kebijakan dalam melihat suatu masalah dan menjadi masukan untuk keputusan strategis," tuturnya.
Sementara itu, menurut Kepala Perwakilan UN di Indonesia Douglas Broderick, pengumpulan data secara tradisional membutuhkan waktu yang lama. Padahal, saat ini, masyarakat membutuhkan informasi yang cepat, beragam, dan terintegrasi. Karena itu, menurut dia, big data dapat melengkapi data tradisional untuk perumusan kebijakan yang lebih baik.
ANGELINA ANJAR SAWITRI