TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Satya Yudha, mengatakan saat ini yang paling penting adalah siapa pengganti Chappy Hakim sebagai Direktur Utama PT Freeport Indonesia. Dia melihat posisi itu harus diisi oleh orang Indonesia yang mampu meyakinkan induk usahanya, yakni Freeport-McMoRan Inc, perusahaan tambang asal Amerika Serikat agar menjaga suasana investasi di Indonesia.
"Harus mampu menjaga suasana investasi di Indonesia, karena Freeport sudah ada di Indonesia selama 48 tahun," kata Satya saat ditemui dalam acara diskusi Energi Kita di gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Minggu 19 Februari 2017.
Baca : Freeport Dikabarkan akan ke Arbitrase, DPR Dukung Pemerintah
Satya menuturkan dirinya tidak bisa menilai apakah pengunduran diri Chappy Hakim, ada muatan politik atau tidak. Meski sudah mengundurkan diri dari posisi Dirut Freeport Indonesia, Chappy masih ada di struktur Dewan Penasihat.
Selain itu, dengan duduknya orang Indonesia sebagai Dirut Freeport Indonesia maka diperkirakan akan memudahkan titik temu, masalah perizinan Freeport saat ini. Satya mengungkapkan tak bisa sebuah industri yang berinvestasi di sebuah negara, semua permintaannya diakomodir.
Baca Juga:
Alasannya, karena sebuah negara memiliki kedaulatan untuk mengelola sumber daya alam. Oleh sebab itu, dibutuhkan figur yang bisa menjembatani dan mengerti akan kedaulatan negara di dalam pengelolaan sumber daya alam untuk menjadi Dirut Freeport Indonesia.
Baca : Revisi UU Migas Akan Atur Badan Usaha Khusus Migas
Mengenai kebijakan yang dibuat Chappy selama menjadi Dirut Freeport Indonesia, Satya melihat yang bisa diukur hanyalah kebijakan dia dalam negosiasi dengan pemerintah yang tengah buntu dan itu yang tak diharapkannya.
Sementara Anggota Komisi VII DPR RI, Kurtubi, mengatakan dirinya tak tahu persis kenapa Chappy mundur. Namun dia merasa mungkin ada kaitannya dengan tawaran pemerintah, yang ingin Freeport berubah menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dari sebelumnya kontrak karya. "Freeport bingung, karyawan sampai mau diputus hubungan kerjanya (PHK), padahal tawaran pemerintah itu jelas."
DIKO OKTARA