TEMPO.CO, Jakarta - Aktivitas penambangan di tambang Grasberg, Papua, milik PT Freeport Indonesia, unit usaha perusahaan tambang asal Amerika Serikat, Freeport-McMoRan Inc, berhenti total. Hanya pekerja di divisi perawatan (maintenance) yang masih bekerja. Kondisi itu mendorong serikat pekerja berencana menggelar demonstrasi menuntut pemerintah karena telah melarang ekspor Freeport sejak bulan lalu.
“Semua operasi sekarang sudah berhenti, kecuali di divisi perawatan. Sekitar 33 ribu pekerja sudah dirumahkan,” ujar Ketua Serikat Pekerja Freeport Indonesia Virgo Solossa kepada Reuters, Kamis, 16 Februari 2017.
Baca: Menteri Jonan: Freeport Sepakat Akhiri Kontrak Karya
Rencananya, ribuan pekerja ini akan berdemonstrasi pada Jumat, 17 Februari 2017, di Timika, Papua. Mereka menuntut pemerintah membuat keputusan yang bijaksana mengenai situasi mereka. "Jika mereka (pemerintah) tidak berhati-hati akan berdampak (operasi Freeport), baik untuk pekerja sebagai penerima manfaat langsung maupun masyarakat luas sebagai penerima manfaat dari keberadaan Freeport,” ucap Solossa.
Manajemen Freeport mengatakan ruang penyimpanan hasil produksi mereka terbatas. Karena itu, produksi di tambang Grasberg akan dipangkas 60 persen menjadi sekitar 70 juta pound per bulan bila tidak kunjung mendapatkan izin ekspor pada pertengahan Februari ini.
Baca Juga:
Sebelumnya, perseroan menargetkan penjualan tembaga dari Tambang Grasberg mencapai 1,3 miliar pound pada 2017 atau naik dari 1,05 miliar pound pada 2016, dengan asumsi operasi berjalan normal.
Baca: Freeport dan Amman Kaji Aturan Baru Ekspor Konsentrat
Juru bicara Freeport Indonesia, Riza Pratama, mengatakan, bila operasi normal kembali, produksi di tambang Grasberg mampu memasok untuk perusahaan pengolahan Freeport, yaitu PT Smelting. Menurut dia, Freeport tidak memiliki rencana mengumumkan status force majeure. "Kami terus bekerja sama (dengan pemerintah) sehingga ekspor konsentrat dapat kembali normal," kata Riza.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Bambang Gatot Ariyono enggan mengomentari penghentian produksi dan aksi unjuk rasa para pekerja Freeport ini. Ia menegaskan Freeport belum mendapatkan izin untuk ekspor. "Mari kita lihat apa yang terjadi," katanya.
Untuk diketahui, pada 11 Januari 2017 lalu, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara atau biasa disingkat PP Minerba.
Baca: Jonan Minta Freeport Lepas 51 Persen Saham kepada Indonesia
PP ini menegaskan perusahaan pemegang KK harus memurnikan mineral di Indonesia. Jika tidak membangun smelter, KK dilarang ekspor. Kemudian, jika ingin tetap ekspor, harus mengubah statusnya dari KK menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Dengan menjadi IUPK, maka Freeport juga berkewajiban melepas 51 persen sahamnya kepada Indonesia tahun ini.
Hingga kini, Freeport belum menyepakati perubahan KK menjadi IUPK. Sebab, Freeport hanya akan menyepakati penerbitan IUPK jika disertai dengan perjanjian stabilitas investasi dengan tingkat kepastian fiskal dan hukum yang sama seperti KK.
Pada 25 Januari 2017 lalu, perusahaan tambang emas dan tembaga ini juga sempat menyatakan mempertimbangkan langkah hukum (legal action) untuk menggugat pemerintah Indonesia. Langkah itu menyusul perusahaan tidak mendapatkan izin ekspor. Sebab, berdasarkan KK, Freeport memiliki hak untuk mengekspor konsentrat tembaga tanpa pembatasan atau kewajiban membayar bea ekspor.
REUTERS | AHMAD FAIZ | ABDUL MALIK