TEMPO.CO, Jakarta -Pemerintah seharusnya tidak terlalu mempersoalkan tingkat kredit macet (non performing loan/NPL) Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang mencapai angka 5% sebagai bentuk keberpihakan ekonomi pada rakyat kecil.
Demikian dikemukakan oleh Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun terkait keberpihakan pemerintah dalam kegiatan sektor usaha kecil dan menengah. Dia juga mengatakan memang seharusnya KUR dibebankan ke APBN sebagai bentuk pemerataan.
“Kalau bicara soal KUR, menurut saya NPL 5% tidak ada masalah. Bagi saya, beban NPL ini bisa dibebankan ke APBN sebagai cost kita demi melaksanakan pemerataan, sebagai biaya menjembatani kesenjangan,” ujar Misbakhun dalam rapat kerja Komisi XI DPR dengan Menko Perekonomian Darmin Nasution, Menkeu Sri Mulyani, Gubernur BI Agus Martowardojo, Ketua DK OJK Muliaman Hadad hari ini, Selasa (14 Februari 2017).
Menurutnya, selain harus menunjukkan keberpihakan pada perekonomian rakyat melalui KUR, pemerintah juga harus menguatkan penetrasi KUR untuk mengatasi kesenjangan ekonomi.
Misbakhun mengungkapkan, dulu bank-bank nasional pernah menerima dana talangan (baliout) melalui Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
“Jadi kalau bicara NPL-nya (KUR, red), kita punya sejarah BLBI besar, negara mem-bailout kok,” ujar politikus Partai Golkar itu.
Selain itu, Misbakhun juga mengatakan bahwa dahulu pertumbuhan ekonomi 1% berarti ada sekitar 400 ribu lapangan kerja baru. Sedangkan sekarang pertumbuhan 1 persen hanya bisa menyerap 200 ribu-300 ribu pekerja.
Karenanya ketika pertumbuhan tidak bisa mendorong pertumbuhan lapangan kerja yang sebenarnya, Misbakhun meyakini KUR bisa menjadi solusinya. Alasannya, saat ini jumlah nasabah KUR mencapai sekitar 12 juta orang.
“Jika satu orang memiliki empat orang tenaga kerja, berapa juta lapangan kerja bisa diciptakan. Berapa kemiskinan dientaskan dan daya beli yang diciptakan. Tentu multiplier effect-nya sangat luas,” ujarnya.
ANTARA