TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf mengatakan mahalnya harga obat-obatan tak terlepas dari tingginya harga bahan baku serta skema bisnis farmasi yang tak sehat dan tidak transparan. Menurut dia, buruknya bisnis farmasi terlihat dari penguasaan 70 persen omzet pada 2015, yang mencapai Rp 56 triliun, oleh belasan perusahaan besar.
“Selain itu, 59 persen pasar masih dikuasai obat resep dokter. Sedangkan obat generik hanya mendapatkan 41 persen,” kata Syarkawi di kantor Kementerian Kesehatan, Jumat, 10 Februari 2017.
Baca: Freeport Tegaskan Belum Sepakati Perubahan Kontrak Karya
Syarkawi juga menyoroti dominasi bahan baku impor pada industri farmasi. KPPU menyoroti data mengenai perusahaan farmasi yang rata-rata mengimpor lebih dari 90 persen bahan baku. “Kalau impor bahan baku bisa diturunkan jadi 60 persen, pasti harga turun,” ujarnya.
Ketergantungan impor, kata Syarkawi, lantas memaksa perusahaan obat menyokong atau mensponsori langsung dokter untuk menjamin kelancaran penjualan produknya. Akibatnya, pasien kurang memiliki alternatif penggunaan obat yang lebih murah.
Untuk mencegah persaingan yang tidak sehat, KPPU dan Kementerian Kesehatan meneken nota kesepahaman (MOU) tentang pencegahan dan penanganan praktek monopoli ataupun kartel di bidang kesehatan. MOU itu berisi pengawasan terhadap industri farmasi, pelayanan kesehatan, pemenuhan fasilitas kesehatan, dan pembiayaan kesehatan.
Baca: Kebijakan Gross Split Dinilai Setengah Hati
Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan upaya memberikan akses pasien terhadap obat alternatif tertuang melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 98 Tahun 2015. Namun upaya tersebut kurang maksimal lantaran lembaganya tak punya banyak wewenang di bidang bisnis. “Saya berharap kerja sama dengan KPPU ini bisa mengurangi maraknya praktek monopoli,” kata Nila.
ANDI IBNU