TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, I Gusti Nyoman Wiratmaja Puja, mengatakan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi tak mampu mendongkrak investasi di industri hulu migas. Untuk itu, agar investasi meningkat maka revisi UU Migas harus disusun secara konsisten.
Menurut Wirat, investasi industri hulu migas melambat karena harga minyak dunia turun dalam empat tahun terakhir. Pada 2013, saat harga minyak dunia masih tinggi, investasi industri hulu migas mencapai US$ 20,4 miliar. Pada 2016, dengan turunnya harga minyak dunia, investasi industri hulu migas mencapai US$ 11,1 miliar.
Baca Juga: Banyak Perusahaan Mulai Kaji Ulang Investasinya di Migas
"Kami harap, dengan skema gross split, (investasi industri hulu migas) bisa lebih cepat dan tidak birokratif lagi," kata Wirat dalam diskusi Energi Kita di Dewan Pers, Jakarta, Ahad, 12 Februari 2017.
Anggota Komisi Energi DPR Kurtubi mengatakan investasi industri hulu migas sangat bergantung pada regulasi. Revisi UU Migas malah menurunkan investasi industri hulu migas dengan dicabutnya sistem pajak lex specialis. "Dunia migas penuh risiko. Karena itu, aturan pajak umum tidak berlaku di migas,"ucapnya.
Selain itu, menurut Kurtubi, ditandatanganinya kontrak investasi migas oleh pemerintah membuat sistem menjadi birokratif. "Karena pihak mewakili pemerintah tidak memegang kuasa pertambangan. Hal itu menimbulkan hambatan bagi investor. Investor harus berhubungan sendiri dengan pemerintah daerah, Bea Cukai, dan sebagainya," katanya.
Simak: Ini Manfaat Aturan Baru Transfer Pricing bagi Pengusaha
Politikus dari Partai Nasdem itu menuturkan, revisi UU Migas saat ini harus dikebut agar investasi industri hulu migas meningkat kembali. Revisi UU Migas saat ini tengah difinalisasi untuk memperbaiki UU Migas saat ini yang menghambat investasi. "Mudah-mudahan bisa kita sahkan pasa semester I 2017," ujar Kurtubi.
ANGELINA ANJAR SAWITRI