TEMPO.CO, Jakarta - BPJS Kesehatan memprediksi defisit atau mismatch aktivitas operasi penyelenggaraan Dana Jaminan Sosial mencapai Rp 12,70 triliun pada 2019 apa bila saat itu tidak terjadi penaikan besaran iuran dan tarif pelayanan kesehatan.
Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Fachmi Idris mengatakan pihaknya memperkirakan besaran mismatch pada 2017 dapat mencapai Rp6,23 triliun. Realisasi itu dapat meningkat lagi pada tahun berikutnya menjadi Rp10,05 triliun.
“Pada 2019, mismatch kami prediksi bisa mencapai Rp 12,70 triliun,” ungkapnya di sela-sela rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR, Kamis 9 Februari 2017.
Dia menjelaskan peningkatan mismatch itu berpotensi terjadi jika sejumlah ketetapan dalam implementasi program Jaminan Kesehatan Nasional–Kartu Indonesia Sehat (JKN–KIS) tidak mengalami perubahan.
Salah satunya adalah besaran iuran, sebagaimana terakhir ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 28/2016 tentang Perubahan Ketiga Atas Perpres No. 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan.
Selain itu, tarif pelayanan kesehatan tetap atau tidak meningkat seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 59/2014 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. “Dan telah dilakukan kendali utilisasi yang ketat dengan dukungan regulasi yang baru, maka BPJS Kesehatan akan tetap defisit hingga 2019,” ungkapnya.
Penjelasan tersebut disampaikan pihak BPJS Kesehatan untuk menjawab pertanyaan dalam rapat dengar pendapat sebelumnya, dari anggota Komisi IX DPR Roberth Rouw. Dalam kesempatan yang sama, penyelenggara program JKN–KIS tersebut juga memberikan jawaban atas pertanyaan Wakil Ketua Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay, terkait alternatif skenario yang dapat diterapkan hingga 2019 untuk menekan atau bahkan menciptakan surplus dalam aktivitas operasi penyelenggaraan Dana Jaminan Sosial (DJS).
Fachmi mengatakan pihaknya telah melakukan 22 simulasi proyeksi kecukupan dana DJS dengan perhitungan aktuaria yang ideal. Opsi terbaik dari 22 skenario itu, jelasnya, dapat diterapkan dengan mengandaikan sejumlah kondisi.
Kondisi tersebut adalah peserta sudah mencapai cakupan semesta, be saran iuran meningkat baik penerima bantuan iuran (PBI) maupun non PBI, penaikan tarif pelayanan kesehatan dan pengendalian berdasarkan regulasi yang lebih ketat.
Dalam skenario tersebut, besaran iuran untuk pekerja bukan penerima upah (PBPU) atau peserta mandiri disesuaikan dengan perhitungan aktuaria pada 2016, yakni tarif peserta kelas III, II, dan I masing-masing sebesar Rp53.000, Rp63.000, dan Rp80.000. Sedangkan, besaran tarif bagi penerima bantuan iuran meningkat hingga Rp36.000.
Berdasarkan Perpres No. 28/2016, iuran PBPU ma sing-masing sebesar Rp25.000, Rp51.000 dan Rp80.000 untuk kelas III, II dan I. Untuk PBI, besaran iurannya saat ini sebesar Rp23.000.
Dalam lembaran jawaban yang diserahkan BPJS Kesehatan kepada Komisi IX DPR terungkap dengan skenario tersebut pendapatan iuran meningkat signifikan.
Dengan begitu, BPJS Kesehatan diprediksi mampu mencatatkan surplus pengelolaan DJS sebesar Rp9,29 triliun pada 2017, Rp12,55 triliun pada 2018 dan Rp9,32 triliun pada 2019.
Direktur Hukum, Komunikasi dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan Bayu Wahyudi menjelaskan 22 skenario tersebut diperoleh dari perhitungan dengan mempertimbangkan data penyelenggaraan prog ram JKN–KIS sejak 2014—2016.
Saleh Partaonan Daulay mendukung upaya BPJS Kesehatan menegakkan sanksi kepada perusahaan yang abai mendaftarkan seluruh atau sebagian pekerjanya.
BISNIS.COM