TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo, mengusulkan penambahan barang kena cukai kepada Direktor Jenderal Bea Cukai segera dilakukan tahun ini.
Ekstensifikasi cukai akan menyelamatkan penerimaan negara apabila penerimaan perpajakan tak tercapai. CITA memperhitungkan penambahan tiga objek cukai baru dapat menghasilkan tambahan penerimaan sebesar Rp 28,52 hingga Rp 103,26 triliun.
Nilai ini setara 18-65 persen dari target cukai pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2017. Pada APBN Perubahan 2016, Ditjen Bea dan Cukai menargetkan penerimaan cukai sebesar Rp 148 triliun.
"Cukai bisa jadi alternatif ketika pajak susah didrive jangka pendek. Penerimaan kepabeanan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak tak dapat diandalkan saat ini," kata Prastowo di Jakarta, Selasa, 7 Februari 2017.
Baca : DPR Bentuk Panja Selidiki Kerugian AJB Bumiputera
Prastowo memprediksi penerimaan pajak tahun ini tak cemerlang, sehingga potensi defisit bisa terjadi. Menteri Keuangan Sri Mulyani memang telah menurunkan target perpajakan 5 persen pada APBN 2017 menjadi sebesar Rp 1.498 triliun. Namun, realisasi APBN Perubahan 2016 yang jeblok mengakibatkan target tersebut naik 15 persen.
"Tanpa program amnesti pajak, kenaikannya 27 persen. Ini perlu diwaspadai. Ada gejala keseimbangan primer negatif," kata dia.
Sejak 2012, penerimaan perpajakan terus menurun. Pertumbuhan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi, kata Prastowo, semakin tak elastis. Sebab itu, ia mengusulkan penambahan objek cukai baru yang dapat disahkan hanya dengan Peraturan Pemerintah.
Baca : Pembayar Pajak Efektif Hanya 42 Persen dari Jumlah SPT
Barang yang dapat dikenakan cukai di antaranya adalah minuman ringan berpemanis, kendaraan bermotor, dan bahan bakar minyak. Menurut Prastowo, pengenaan cukai minuman berpemanis dapat menekan tingkat penderita obesitas dan diabetes di Indonesia. Sementara cukai kendaraan bermotor dapat mengurangi tingkat polusi. Cukai kendaraan bermotor ini berbeda dengan Pajak Penjualan Barang Mewah.
"Sementara cukai BBM karena dia energi tak terbarukan. Jadi perlu disinsentif," kata Prastowo.
Prastowo yakin pengenaan cukai pada ketiga barang tersebut tak akan memicu inflasi apabila dilakukan secara bertahap.
Anggota Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Andreas Edy sepakat menetapkan bahan bakar minyak sebagai barang kena cukai kendati akan berdampak terhadap industri. "Ini ada kaitannya dengan komitmen untuk menurunkan emisi karbon," kata dia.
Sejak medio 2016, Ditjen Bea Cukai mengusulkan penarikan cukai untuk plastik. Potensi penerimaannya diperkirakan mencapai Rp 1,6 triliun dalam APBN 2017. Sayangnya, pembahasan ini ditentang sejumlah pihak, terutama industri makanan dan minuman.
PUTRI ADITYOWATI