TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono menegaskan, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara ( PP Minerba) tidak melanggar Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba.
Baca: Freeport Beroperasi 50 Tahun, di Papua Listrik Padam per Jam
Menurut Bambang, peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan itu tetap mewajibkan perusahaan yang memiliki Ijin Usaha Pertambangan (IUP) dan Ijin Pertambangan Khusus (IUPK) untuk melakukan pengolahan dan pemurnian. Hal tersebut tercantum dalam pasal 103 ayat 1,2 dan 3.
“Tetapi waktunya tidak ditetapkan di Undang-Undang itu, tapi di Peraturan Pemerintah (PP) 23 Tahun 2010, dan dinyatakan (wajib membangun smelter) sampai Januari 2014,” kata Bambang saat memberikan paparan dalam diskusi publik di Jakarta Pusat, Senin 6 Februari 2017.
Baca: Pemerintah Putar Otak Cari Pembiayaan LRT
Namun, kata dia, PP 23 Tahun 2010 itu kemudian kembali diperpanjang empat tahun, hingga keluar lagi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014, dan baru tahun ini pemerintah memberikan kejelasan mengenai izin ekspor dan aturan turunan lainnya dalam PP Nomor 1 Tahun 2017. Selain itu, dalam UU Minerba pasal 170 dinyatakan bahwa pemegang kontrak karya atau KK harus melakukan pemurnian dan ditetapkan lima tahun sejak UU ditetapkan.
“Kenapa di (Ijin Usaha Pertambangan) IUP tidak ditetapkan juga dalam ketentuannya, karena pemerintah berpikiran bahwa smelter itu tidak mudah. Investasi yang mahal. Dan return on investmentnya sangat kecil, lambat. Oleh karena itu bisnis ini langsung tidak menarik. Karena kalau menarik saya kira semua orang datang bikin smelter, cuma return of investmentnya kecil,” ucapnya.
Baca: Pemerintah Evaluasi Pengajuan IUPK Sementara untuk Freeport
Bambang menambahkan, ijin ekspor tanpa pemurnian bisa saja dihentikan di 2017. Namun kata dia, yang terjadi baru sedikit perusahaan yang membangun smelter, yakni satu smelter bauksit, satu smelter tembaga, sedangkan smelter besi belum terbangun. Karena itu, atas dasar evaluasi di lapangan dengan kondisi itu, pemerintah tetap menginginkan hilirisasi, dan mau tak mau PP yang diubah waktunya sampai 2022.
“Jadi musti ada bedanya, kenapa yang 5 tahun di KK itu dimasukkan dalam UU. Tetapi di pasal 103 tidak dinyatakan dalam UU, tapi di PP. Tentunya pemerintah melihat ini tidak mudah. Jadi PP direvisi,” kata dia. “KK kalau mau ekspor ubahlah jadi IUPK yang tadinya waktu digeser. Jadi untuk Newmont, Freeport kalau belum siap smelternya, lima tahun lagi. tapi kontraknya harus berubah jadi IUPK.”
DESTRIANITA