TEMPO.CO, Jakarta - Pimpinan baru di PT Pertamina (Persero) setidaknya harus bisa menyelesaikan tiga pekerjaan rumah utamanya saat ini.
“Pertama, ia harus bisa menyelesaikan masalah anak usahanya, Pertamina Energy Trading Limited atau Petral,” kata anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Inas Nasrullah ketika dihubungi Tempo, Jumat, 3 Februari 2017.
Inas menyebutkan persoalan pertama terkait dengan Petral sangat penting diselesaikan karena perusahaan tersebut masih punya piutang yang cukup besar. “Sejauh mana ditagih kepada yang berhutang itu?” katanya.
Baca: Dirut dan Wadirut Pertamina Dicopot
Pernyataan tersebut merespons pencopotan Direktur Utama dan Wakil Direktur Utama Pertamina yang merupakan hasil Rapat Umum Pemegang Saham di Kementerian Badan Usaha Milik Negara hari ini. Tugas Direktur Utama Pertamina untuk sementara diserahkan kepada Direktur Gas Pertamina Yenni Andayani.
Sebelumnya berhembus kabar penggantian jajaran manajemen di Pertamina menyusul polemik "matahari kembar" Direktur Utama Dwi Soetjipto dengan Wakil Direktur Utama Ahmad Bambang.
Simak: Ini Alasan Pencopotan Direktur Utama Pertamina dan wakilnya
Perombakan direksi perusahaan minyak dan gas negara itu sebelumnya dilakukan pada Oktober 2016. Saat itu, RUPS menambah direksi dari tujuh menjadi sembilan orang. Jabatan wakil direktur utama dimunculkan kembali dan diduduki Ahmad Bambang yang sebelumnya menjabat Direktur Pemasaran. Dalam struktur baru, ada kursi direktur megaproyek pengolahan dan petrokimia yang diberikan kepada Rachmad Hardadi. Perubahan tertuang dalam revisi anggaran dasar Pertamina.
Lebih jauh, menurut Inas, pekerjaan rumah kedua yang harus diselesaikan Direktur Utama Pertamina yang baru adalah menindak karyawan Petral yang sebelumnya sudah lama dicurigai. Ia menyatakan harus ada sikap tegas dari direktur kepada karyawan tersebut, diberhentikan atau tidak. “Kalau mau dikeluarkan, ya keluarkan. Namun jangan terlalu di-non-job-kan. Ini harus jelas semua,” katanya.
Pekerjaan rumah ketiga Direktur Utama Pertamina, kata Inas, adalah meninjau kembali rencana ekspansi korporasi tersebut. Ina menyesali ada beberapa ekspansi oleh Pertamina yang dianggap berlebihan. Salah satunya ekspansi Pertamina ke Prancis yang nilainya sekitar US$ 80 juta, tapi yang diproduksi untuk Indonesia tidak sampai 29 ribu barel, setara minyak per hari (BOEPD).
Hal itu yang dianggap tidak ada artinya jika dibanding keuntungan yang bisa diterima Indonesia. Selain itu, Pertamina berekspansi di Gabon, Nigeri, dan Tanzania. Dari ekspansi itu, minyak yang diambil Indonesia tak sampai 18.700 BOEPD atau tidak lebih dari 500 ribu barel per bulan. “Ini perlu dicurigai ada apa. Dengan investasi sebesar itu, harus ditinjau kembali,” kata Inas.
LARISSA HUDA