TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa mengatakan Indonesia tidak perlu produksi beras tahun ini, jika klaim surplus beras dari Menteri Pertanian benar adanya. "Kalau benar surplus, maka tidak perlu produksi. Karena sudah cukup," kata Dwi Andreas kepada Tempo saat dihubungi, Kamis, 2 Februari 2017.
Dwi Andreas menuturkan realisasi produksi gabah kering giling (GKG) dari data Kementan di tahun lalu adalah 79,5 juta ton, jika itu dikonversikan menjadi beras, akan menjadi beras dengan jumlah hampir 50 juta ton. Dengan angka itu, seharusnya tahun ini Indonesia tidak harus berproduksi.
Baca: Ketahanan Pangan Indonesia Terus Membaik
Alasannya dengan kebutuhan nasional beras setahun 32,4 juta ton, artinya ada surplus 17,6 juta ton. Sehingga karena surplus sudah terjadi selama dua tahun berturut-turut, harusnya Indonesia berkelebihan beras saat ini sehingga tak perlu produksi lagi.
Selain itu, meski dari data yang dimiliki Kementan produksi beras yang terus meningkat harusnya berimplikasi pada penurunan harga beras. "Namun harga beras medium dulu secara nasional sekitar Rp 8.000 kilogram, sekarang sudah mencapai Rp 10 ribu per kilogram," ujar Dwi.
Bahkan menurut hitungan dari Dwi Andreas, dengan berasumsi pada angka hitungan realisasi produksi GKG 2016, seharusnya harga beras medium berada di angka Rp 4.000 per kilogram. "Jadi ada penurunan sebesar 60 persen dibandingkan harga beras medium saat ini," ucap Dwi.
Baca: Mentan Dorong Kabupaten Tapin Jadi Pusat 3 Komoditas Pangan
Dwi Andreas menjelaskan bahwa dia memakai perhitungan rasio stok dan penggunaan. Jadi jika rasio stok dan penggunaan naik 10 persen, akan ada penurunan harga sebesar 3 persen, begitu pun jika sebaliknya.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengklaim selama sembilan tahun belakangan ini, baru tahun lalu Indonesia mengalami surplus beras. Amran menyatakan, laporan dari Kelompok Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), menyebutkan harga beras ada di tujuh kabupaten di bawah Rp 3.700 per kilogram.
DIKO OKTARA