TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan mengeluarkan tiga peraturan menteri (Permen) dalam rangka memenuhi target elektrifikasi 100 persen pada 2019. Salah satu peraturan itu adalah Permen Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pokok-pokok dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik.
Menurut Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Jarman, aturan ini mengatur tentang perjanjian jual-beli tenaga listrik (PJBL) antara pembeli (PLN) dan penjual (Independent Power Plant-IPP) terkait dengan aspek komersial untuk semua jenis pembangkit, termasuk panas bumi, PLTA, dan PLT Biomass. Sementara pembangkit EBT yang intermiten dan hidro di bawah 10 megawatt (MW) diatur dalam peraturan tersendiri.
Hal tersebut dilakukan agar terjadi kesetaraan risiko antara penjual, dalam hal ini IPP, dan pembeli, dalam hal ini PLN, terkait dengan jual-beli listrik. "Selama ini belum setara. Karena itu, dibuatkan payung hukum karena sebelumnya kita lihat ada pembangkit yang tidak memenuhi keandalan, sehingga meski kapasitas cukup, listrik padam," ucap Jarman di kantor Kementerian Energi, Kamis, 2 Februari 2017.
Pokok-pokok aturan dalam Permen Nomor 10 Tahun 2017 mengatur beberapa hak, yaitu jangka waktu PJBL, hak dan kewajiban penjual dan pembeli (alokasi risiko), jaminan, commissioning dan COD, pasokan bahan bakar, transaksi, penalti terhadap kinerja pembangkit, pengakhiran PJBL, pengalihan hak, persyaratan penyesuaian harga, penyelesaian perselisihan, dan keadaan kahar atau (force majeur).
Yang berbeda dalam aturan ini adalah adanya jangka waktu perjanjian jual beli tenaga listrik (PJBL) paling lama 30 tahun, dengan mempertimbangkan jenis pembangkit, dan dihitung sejak COD PJBL menggunakan pola kerja sama berupa build, own, operate, transfer (BOOT). Hal ini didasari aturan Mahkamah Konstitusi Nomor 111/PUU-XIII/2015.
"Lalu biaya kapasitas (komponen A) pada harga jual tenaga listrik dihitung berdasarkan nilai investasi yang didepresiasi sekurang-kurangnya 20 tahun," kata Jarman.
Ketentuan commissioning wajib mengacu pada Permen ESDM Nomor 5/2014 jo. 10/2016 tentang Tata Cara Akreditasi dan Sertifikasi Ketenagalistrikan. Pengoperasian wajib mengacu pada Permen ESDM tentang Grid Code yang telah tersusun, yakni di Jawa, Madura Bali, Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan.
Baca: Kapal Pembangkit Listrik Turki untuk NTB Masuk Awal 2017
Adapun tentang ketentuan COD, jika terjadi percepatan COD karena diminta PLN, IPP berhak mendapat insentif. Namun apabila terjadi keterlambatan, akan dikenai penalti dan PLN wajib membeli listrik sesuai dengan availability factor (AF) atau capacity factor (CF) dengan harga sesuai dengan persetujuan harga jual.
IPP wajib menyediakan energi sesuai dengan kontrak (ketentuan deliver or pay). Dalam hal penjual tidak dapat mengirimkan energi listrik sesuai dengan kontrak karena kesalahan penjual, penjual wajib membayar penalti kepada PLN.
Penalti proporsional sesuai dengan biaya yang dikeluarkan PLN untuk menggantikan energi yang tidak dapat disalurkan. Dalam hal PLN tidak dapat menyerap energi listrik sesuai dengan kontrak karena kesalahan PLN, PLN wajib membayar penalti kepada penjual (take or pay). Penalti proporsional sesuai dengan komponen investasi.
Baca: PLN Alihkan 701.618 Pelanggan Tarif Subsidi ke Reguler
"Katakanlah ada Rp 500 per kWh, tapi tidak bisa digunakan sehingga PLN harus menyediakan listrik Rp 750, ada selisih Rp 250 yang harus dibayarkan oleh IPP yang tidak bisa memasok," kata Jarman.
Pelaksanaan penalti itu harus dilakukan dalam sistem dispatcher. Agar pelaksanaan ini beroperasi, dispatcher wajib melaporkan kepada pemerintah setiap bulan.
DESTRIANITA