TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan sebagai negara kepulauan, Indonesia seharusnya dapat mengembangkan energi yang ramah lingkungan dan energi bersih. Namun pemerintah dinilai belum serius mengembangkan energi bersih sebagai salah satu sumber energi untuk memasok kebutuhan masyarakat.
"Pemerintah praktis hanya menggantungkan pada komoditas energi fosil yang terbukti mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan global, menggerus uang negara karena harus impor, dan stoknya pun sangat terbatas," kata Tulus dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 31 Januari 2017.
Baca: Pertamina Gunakan Skema Gross Split di 8 Blok Migas
Karena itu, Tulus berujar, pemerintah harus serius mewujudkan kebijakan energi bersih, baik pembangkit listrik maupun bahan bakar rumah tangga. "Untuk konteks pembangkit listrik, seharusnya pemerintah memasok PT PLN dengan sumber-sumber energi bersih, minimal dengan gas, dan/atau mengembangkan pembangkit-pembangkit kecil yang berbasis air, angin, bahkan sampah."
Menurut Tulus, hal tersebut sangat mendesak untuk memenuhi kekurangan pasokan energi listrik. Pembangunan pembangkit listrik besar terbukti lama dan perlu biaya besar. "Karena itu, pemerintah seharusnya melakukan pembinaan dan pemberdayaan kepada masyarakat yang mempunyai potensi untuk menerapkan energi bersih, termasuk dalam skala pembiayaannya," tuturnya.
Pemerintah melalui PT Pertamina, kata Tulus, juga harus segera mewujudkan energi panas bumi atau geotermal. Indonesia adalah pemasok geotermal terbesar di dunia, yakni sebesar 40 persen. "Tapi hingga kini yang termanfaatkan baru empat persen saja. Faktor kendala finansial dan regulasi sering membuat operator geotermal enggan berinvestasi di pembangkit geotermal," ujarnya.
Baca: Pertamina Putuskan Bangun Sendiri Kilang Balongan-Dumai
Tulus mengatakan pemerintah perlu memberikan insentif fiskal bagi operator geotermal, termasuk subsidi. Pemerintah juga harus mengatasi adanya konflik regulasi, khususnya regulasi di bidang kehutanan. "Di mana eksplorasi panas bumi dilarang dilakukan di daerah hutan, khususnya hutan lindung. Padahal sumber-sumber geotermal banyak di area hutan lindung," katanya.
Menurut Tulus, memasok energi yang murah dan ramah lingkungan adalah kewajiban negara. Karena itu, dia menegaskan, penyediaan energi bersih sangat penting di tengah semakin minimnya akses akan energi fosil. "Plus makin tingginya dampak eksternal penggunaan energi fosil, baik bagi lingkungan maupun kesehatan," tuturnya.
Tulus meminta pemerintah memberikan berbagai insentif pada pihak-pihak yang peduli dan berhak pada energi bersih. Subsidi yang selama ini digelontorkan pada energi fosil, terutama untuk listrik, BBM, dan gas, harus mulai dialihkan untuk subsidi energi bersih. "Energi bersih yang sebenarnya berhak mengantongi hak subsidi. Energi fosil seharusnya diberikan disinsentif," ujarnya.
ANGELINA ANJAR SAWITRI