TEMPO.CO, Jakarta – Bank Indonesia (BI) menyarankan agar pemerintah berhati-hati dalam menentukan waktu penerapan kebijakan bahan bakar minyak (BBM) satu harga di seluruh Indonesia. Salah satunya dengan memperhatikan tingkat inflasi agar tetap terkendali.
”Timing terbaik penerapannya saat inflasi rendah, misalnya saat panen,” ujar Direktur Departemen kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia, Juda Agung, di Kompleks Bank Indonesia Thamrin, Jakarta, Jumat, 27 Januari 2017.
Menurut Juda, implementasi kebijakan BBM satu harga itu, bagaimanapun, harus didukung. “Saya rasa positif, karena penyesuaian itu baik untuk fiskal dan kelanjutan subsidi,” katanya.
Baca: Kemenperin Perbesar Akses Pasar IKM Logam
Menurut Juda, dampak penyesuaian harga BBM berbeda dengan kenaikan tarif listrik 900 VA yang telah lebih dulu diterapkan pada awal Januari ini. Sebab, kenaikan tarif listrik berdampak sementara atau temporer. Kontribusi kenaikan tarif listrik kepada inflasi inti pun dinilai lebih kecil.
Sedangkan jika nantinya kebijakan BBM satu harga resmi diterapkan, hal itu diprediksi akan memberikan dampak yang lebih besar kepada inflasi. “Kalau BBM kan ada dampak yang lebih luas, seperti ke ongkos kenaikan tarif angkutan,” ucap Juda.
Dengan begitu, untuk mencegah inflasi tinggi, penerapan kebijakan harus disertai dengan pengelolaan tarif angkutan dan harga pangan bergejolak.
Presiden Joko Widodo pada Oktober 2016 telah menerapkan kebijakan bahan bakar minyak (BBM) satu harga di Papua dan Papua Barat. Di dua daerah itu harga BBM sudah menyamai Pulau Jawa.
Baca: Jokowi Tinjau Proyek Bandara di Yogyakarta
Adapun tujuan diterapkannya kebijakan itu adalah agar semua masyarakat di Indonesia timur, yang sebelumnya membeli BBM dengan harga mahal, bisa merasakan harga yang lebih murah.
PT Pertamina (Persero) tengah mendata daerah baru sebagai sasaran kebijakan harga BBM satu harga. Kawasan itu adalah Kepulauan Riau, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
GHOIDA RAHMAH | ADITYA BUDIMAN