TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Peternakan Nasional Teguh Boediyana menyebutkan kerugian mengimpor hewan dari negara yang belum sepenuhnya bebas penyakit mulut dan kuku (PMK). Masalah utamanya tentu berada di sekitar potensi adanya penyakit tersebut yang mungkin dibawa hewan-hewan itu.
"Utamanya adalah soal penyakit. Kalau kena PMK, target swasembada daging 2017 hanya impian," kata Teguh saat ditemui di Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis 26 Januari 2017.
Menurut Teguh, mengubah aturan impor dari zona based ke country based merupakan perlindungan untuk peternakan rakyat. Sebab, jika memakai country based, akan lebih aman dan tak ada risiko yang timbul.
Namun, jika memang masih diperlakukan zona based, akan berisiko banyak hal. Salah satunya berkurangnya pendapatan sektor pariwisata jika penyakit mulut dan kuku pada hewan mewabah. "Karena penyakit ini perlu dibersihkan," ujar Teguh.
Teguh menambahkan, masalah kedua adalah menurunnya pendapatan peternak rakyat, karena jumlah daging impor dari India, misalnya, sudah mencapai 100 ribu ton. Alasannya karena pemerintah berharap harga daging bisa turun dan harganya lebih murah dari daging asal peternak rakyat.
Simak: Hati-hati, Salah Hitung Pajak Bisa Berakhir di Penjara
Meski sudah mengajukan gugatan terkait Undang-Undang Nomor 41 tahun 2014 yang mengatur tentang zona based, sudah delapan bulan para penggugat menunggu keputusan. "Pemerintah malah menggunakan peluang itu untuk memasukkan daging yang tak bebas PMK," ucap Teguh.
Teguh mengungkapkan, kerugian di peternak rakyat sudah terasa, karena mereka harus bersaing dengan daging impor yang murah. Yang ditakutkan oleh Teguh, para peternak rakyat ini lama-lama akan semakin mengalami kemunduran.
Menurut anggota Presidium Dewan Peternakan Nasional, Edy Wijayanto, kerugian akibat kebijakan zona based mencapai 50 persen dari aturan yang lama. Ini sudah mulai dirasakan ketika daging impor mulai deras masuk pada pertengahan tahun lalu.
Edy mencontohkan, jika sebelumnya peternak rakyat di rumah potong hewan bisa memotong 60 ekor dalam sehari, kini mereka hanya bisa memotong 30-35 ekor sehari.
DIKO OKTARA