TEMPO.CO, Jakarta - Deputi Direktur Program Sistem Pembayaran Bank Indonesia Aloysius Donanto Herry Wibowo menjelaskan, konsep sistem pembayaran nasional atau national payment gateway (NPG) telah dicetuskan sejak 1996. Namun saat itu pembayaran dengan kartu masih belum merata.
Pembayaran secara online, kata Donanto, pun belum ada. “Waktu itu, kita melihat, yang dimaksud NPG sebatas mengkoneksikan switching antarjaringan,” tuturnya dalam acara NgobrolTempo bertajuk “Menuju National Payment Gateway” di The Terrace, Senayan, Jakarta, Jumat, 27 Januari 2017.
Namun, seiring berjalannya waktu, perkembangan sistem pembayaran tidak seperti yang diprediksi oleh BI. Menurut Donanto, perkembangan penyedia layanan kalah cepat dibanding pertumbuhan kebutuhan masyarakat. “Sehingga industri dengan solusinya sendiri-sendiri berusaha memenuhi kebutuhan itu.”
Hal tersebut, kata Donanto, membuat terbentuknya fragmentasi yang sedemikian besar. “Distribusi payment device yang sudah sedemikian banyak mau diapain? Environment Indonesia itu bukan greenfield, tapi brownfield,” tuturnya.
Masalah sistem pembayaran selama ini, menurut Donanto, lebih ke utilisasi. “Kami mau utilisasi infrastruktur yang sudah ada sehingga secara domestik bisa berkembang.”
Donanto menuturkan, NPG ala Indonesia mencakup pemrosesan transaksi dengan interkoneksi antar-switching. Selain itu, beberapa layanan yang selama ini sudah ada, seperti kliring dan settlement, diintegrasikan. “Dari sisi otoritas, untuk memastikan semua aman, ada proses-proses security yang ditingkatkan dan disentralisasi,” katanya.
Dengan begitu, menurut Donanto, akan ada tiga pengelompokan institusi NPG berdasarkan fungsinya. Pertama, fungsi standardisasi yang harus berjalan sebelum pelaksanaan transaksi. Kedua, fungsi switching yang memastikan kelancaran proses pembayaran. “Ketiga, fungsi services untuk memastikan transaksi benar-benar terjadi,” ujarnya.
ANGELINA ANJAR SAWITRI