TEMPO.CO, Jakarta - World Bank memperkirakan peningkatan yang signifikan tehadap harga komoditas industri, seperti energi dan logam, pada 2017 akibat pengetatan pasokan serta pertumbuhan permintaan. Dalam laporan bertajuk Commodity Markets Outlook Januari 2017, World Bank mempertahankan prediksi rerata harga minyak mentah pada tahun ini melompat 29% year on year/yoy menjadi US$55 per barel dari 2016 senilai US$43 per barel.
Proyeksi tersebut mengasumsikan adanya realisasi pembatasan produksi minyak dari Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) dan negara produsen minyak lainnya. Kesepakatan pemangkasan suplai perlu dilakukan karena sudah lama tingkat produksi tidak terkendali.
Sebelumnya pada rapat 30 November 2016, anggota OPEC sepakat untuk memangkas produksi sebesar 1,2 juta barel per hari (bph) menjadi 32,5 juta bph mulai awal 2017. Selanjutnya pada 10 Desember, sejumlah negara produsen minyak mentah lainnya setuju menurunkan suplai baru sejumlah 558.000 bph. Artinya mulai tahun ini pasar minyak mentah akan mengalami selisih pasokan minyak baru hampir 1,8 juta bph.
Baca: BKPM: Jangan Sampai Isu Politik Tumpah ke Ekonomi
World Bank juga menaikkan proyeksi pertumbuhan harga logam menjadi 11 persen yoy pada 2017, dibandingkan laporan medio Oktober 2016 yang menyebutkan kenaikan hanya 4 persen yoy. Hal ini dipicu adanya pengetatan pasokan serta permintaan yang kuat dari China dan sejumlah negara maju lainnya.
John Baffes, Ekonom Senior dan penulis utama Commodity Markets Outlook, mengatakan harga sebagian besar komoditas telah keluar dari level terbawahnya pada tahun lalu, dan berada di jalur untuk mendaki pada 2017.
Baca: Menteri Rini: Pemimpin BUMN Harus Punya Intuisi Bisnis Tajam
"Namun, perubahan kebijakan bisa mengubah tren (kenaikan harga) ini," ujarnya dalam siaran pers, Selasa, 24 Januari 2017.
Sementara itu, harga komoditas pertanian secara keseluruhan diperkirakan meningkat tipis kurang dari 1 persen yoy pada 2017. Kenaikan kecil terjadi pada minyak nabati, minyak biji-bijian, dan bahan baku, sedangkan harga biji-bijian turun hampir 3 persen yoy karena estimasi meningkatnya pasokan.
Harga logam mulia bakal terkoreksi 7 persen yoy karena kenaikan suku bunga acuan yang melambatkan permintaan safe haven. Seperti diketahui, Federal Reserve berencana mengerek suku bunga sebanyak tiga kali pada 2017.
Adapun dalam rubrik 'fokus khusus' Commodity Markets Outlook Januari 2017, World Bank menunjukkan bagaimana komoditas ekspor di negara berkembang (emerging market and developing economies/EMDEs) mengalami perlambatan karena menurun dari 7,1 persen pada 2010 menjadi 1,6 persen pada 2015.
Ayhan Kose, Director World Bank’s Development Prospects Group, mengatakan pelemahan investasi, baik dari pemerintah ataupun swasta, menghalangi berbagai kegiatan eskpor di dalam negara-negara EMDEs.
"Sebagian besar negara tersebut memiliki ruang kebijakan terbatas untuk melawan perlambatan pertumbuhan investasi, sehingga mereka perlu menggunakan langkah-langkah untuk meningkatkan iklim bisnis," ujarnya.
Langkah-langkah meningkatkan iklim bisnis di antaranya dapat dilakukan dengan mempromosikan diversifikasi ekonomi, dan meningkatkan tata kelola pemerintahan untuk pertumbuhan yang lebih baik dalam jangka panjang.