TEMPO.CO, Jakarta - Indeks dolar Amerika Serikat dilaporkan semakin anjlok pasca Presiden Amerika Serikat, Donald Trump memutuskan resmi menarik diri dari perjanjian perdagangan Kemitraan Trans-Pasifik (TPP). “Mungkin ini pertanda bahwa Trump juga tidak menyukai dolar yang terlalu kuat,” ujar Analis dari Samuel Sekuritas, Rangga Cipta, dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 24 Januari 2017.
Rangga menuturkan setelah Trump berjanji akan memangkas pajak untuk mendongkrak performa inudstri manufaktor, imbal hasil (yield) US Treasury juga dilaporkan menurun. Namun, langkah Trump itu dinilai belum memengaruhi harapan kenaikan inflasi serta target suku bunga acuan Bank Sentral AS, Federal Reserve (Fed Fund Rate/FFR).
Baca : Penguatan Rupiah Diperkirakan Berlanjut Hari ini
”Rentetan indeks manufaktur dari berbagai negara akan diumumkan hari ini, bisa jadi pertanda prospek pertumbuhan yang juga akan memengaruhi langka lanjutan bank sentral masing-masing negara,” kata dia.
Sementara itu, rupiah dilaporkan terus menguat tajam sejak hari pertama perdagangan pasca pelantikan Trump, dan ditutup di level 13.372 per dolar AS, pada Senin kemarin.
Menurut Rangga, shock yang dikhawatirkan sebelumnya akan terjadi pada nilai tukar rupiah terbukti tidak terjadi. “Indeks dolar masih terus melemah hingga dini hari tadi, sehingga membuka ruang untuk rupiah melanjutkan penguatannya,” ujarnya.
Baca : Binaartha Sekuritas: IHSG Akan Bergerak di Level 5 268-5.285
Penguatan rupiah kata Rangga seiring dengan turunnya yield Surat Utang Negara (SUN), meskipun indeks harga saham gabungan (IHSG) masih diwarnai sentimen negatif. “Ini mungkin berkaitan dengan prospek pertumbuhan yang mulai melambat akibat belanja pemerintah yang terhambat minimnya pendapatan,” katanya.
Selanjutnya ditambah dengan dampak tidak langsung dari kebijakan dagang AS terhadap Cina, yang merupakan salah satu negara tujuan ekspor utama Indonesia.
GHOIDA RAHMAH