TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal Konstitusi Sumber Daya Alam (SDA) hari ini meminta rekomendasi dari Ombudsman Republik Indonesia (ORI), terkait dugaan pelanggaran administrasi peraturan yang dibuat oleh pemerintah.
Baca : Ini Daftar Lengkap Perusahaan Donald Trump di Indonesia
Antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang revisi keempat Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010, tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Mineral dan Batubara. Lalu peraturan Menteri Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di dalam Negeri. Serta Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2017 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Permurnian.
Baca : Asal-usul Kerja Sama Bisnis MNC Group - Trump Hotel
Perwakilan koalisi Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal Konstitusi SDA Ahmad Redi mengatakan, selain mendaftarkan gugatan ke Mahkamah Agung, pihaknya ingin memastikan apakah Peraturan Menteri Nomor 5 dan 6 secara formal dan materiil sudah dibuat sesuai dengan prosedur yang benar. Dalam konteks formal, Ombudsman Republik Indonesia akan memeriksa hal tersebut.
"Mereka akan memeriksa apakah ada pelanggaran maladministrasi di dalam pelayanan publik. Nah, kami ingin melihat apakah Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 dan nomor 6 Tahun 2017 itu apakah ada proses adminstrasi yang tidak benar," ucap Ahmad Redi di Kantor Ombudsman Republik Indonesia, Senin, 23 Januari 2017.
Baca : Proyeksi Pasokan Terbatas, Harga Nikel 2017 Berpotensi Naik
Ahmad mengaku koalisinya beranggotakan ahli hukum dan konstitusi seperti Mahfud MD, Hamdan Zulfa, Guru Besar UGM Fahmi Radi, dan Marwan Batubara. Bagi Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal Konstitusi SDA secara logika terdapat keanehan mengenai berbarengannnya kemunculan aturan tersebut.
Padahal dalam penyusunan Peraturan Menteri (Permen) harus didasarkan dari Peraturan Pemerintah (PP), sehingga harus ada syarat hukum dan proses yang harus dilalui. Mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, hingga akhirnya terbentuk peraturan.
"Ini kan secara logika, PP malam itu, dan Permen jg malam itu. Secara akal sehat ini agak nggak pas," tuturnya.
Selain itu, dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, termasuk Permen, serusnya ada kewajiban partisipasi publik. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 diatur bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengusulkan atau terlibat dalam menyusun peraturan menteri.
"Sangat kilat peraturan menterinya dibuat. Kami ingin meminta pencerahan dari ombudsman, apakah dengan fakta-fakta, ini melanggar ketentuan administrasi. Sehingga kalau ada, maka kami akan membuat laporan secara tertulis dan meminta kepada Ombudsman untuk melakukan investigasi," kata Ahmad.
Menurut Ahmad, padahal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara telah diatur melalui pasal 102,103,170, dan dalam pasal tersebut dikatakan bahwa per 12 Januari 2014 sudah tidak ada lagi mineral mentah yang diekspor. Dan semua perusahaan tambang baik pemegang KK maupun pemegang ijin pertambangan itu harus membangun smelter baik sendiri maupun kerjasama.
"Ini sebenarnya tidak urgen. UU itu udah diperpanjang dari 2009, sampai 2014. Lalu jaman pak SBY dikasih 3 tahun perpanjangan. Sekarang dikasih lagi waktu 5 tahun. Artinya dalam hal ini pemerintah tidak konsisten dalam menjalankan kebijakan hilirisasi mineral," tuturnya.
DESTRIANITA