TEMPO.CO, Jakarta - Harga batu bara acuan periode awal 2017 terjungkal lagi di angka US$ 86,23 per ton. Padahal akhir 2016, harga batu bara naik ke level tertinggi dalam beberapa tahun, yaitu US$ 101,67 per ton.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan penurunan harga terjadi lantaran kebijakan Cina yang mengatur perdagangan batu bara kalori tinggi supaya berada di bawah US$ 100 per ton.
"Mereka berusaha mengatur trade coal dengan kalori 6.322 agar berada di bawah US$ 100 per ton," ujar juru bicara Kementerian Energi, Sujatmiko, kepada Tempo, Kamis, 12 Januari 2017.
Penurunan harga batu bara juga disebabkan oleh melemahnya mata uang Cina. Tren tersebut kemudian berimbas pada penurunan harga batu bara di Negeri Panda. Diketahui, Cina adalah importir batu bara terbesar Tanah Air.
Baca: Asosiasi Smelter Usul Konsentrat Freeport Diolah Swasta
Sujatmiko menuturkan produksi batu bara tahun ini stabil di angka 413 juta ton berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Target itu jauh menurun dibanding realisasi produksi tahun lalu sebesar 434 juta ton.
Meski begitu, ucap Sujatmiko, harga batu bara bakal tetap stabil lantaran meningkatnya alokasi batu bara domestik yang diprediksi mencapai 121 juta ton tahun depan. Angka itu lebih besar dibanding realisasi tahun lalu sebesar 90,55 juta ton.
Baca: Proyeksi 2017, Harga Komoditas Energi Makin Melambung
Untuk jangka panjang, penggunaan batu bara bakal stabil melalui pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) mulut tambang. Menteri Energi Ignasius Jonan sebelumnya mengatakan PLTU mulut tambang krusial karena pengembangan listrik harus berdasarkan sumber energi yang tersedia di wilayah masing-masing. Misalnya, di Sumatera Selatan, sebagian besar setrum seharusnya berasal dari energi batu bara. Sebab, daerah ini termasuk penyimpan cadangan batu bara terbesar di Indonesia.
Skema tersebut, ujar Jonan, mutlak diperlukan supaya biaya pembangkitan listrik semakin murah. Saat ini, biaya penyediaan listrik bertambah lantaran komponen biaya angkut yang cukup besar. Akibatnya, listrik yang dihasilkan tidak efisien.
ROBBY IRFANY