TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga riset Centre for Strategic and International Studies (CSIS) memperkirakan Indonesia mampu meningkatkan ekspor hingga 3,2 persen pada 2017 berdasarkan proyeksi pertumbuhan perekonomian global. Meskipun sebetulnya angka tersebut masih di bawah apa yang sebenarnya Indonesia bisa lakukan.
"Sedangkan untuk pembangunan ekonomi, Indonesia setidaknya butuh 4 sampai 5 persen pertumbuhan ekspor," kata Kepala Departemen Ekonomi CSIS, Yose Rizal Damuri, dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu, 11 Januari 2017.
Yose menjelaskan angka peningkatan ekspor sebesar 3,2 persen tersebut belum memasukkan faktor pengaruh kemungkinan penerapan kebijakan proteksionisme global. Penerapan kebijakan proteksionisme global itu seperti yang kemungkinan akan dilakukan oleh Amerika Serikat.
Kalau proteksionisme makin signifikan, menurut Yose, maka angka pertumbuhan ekspor 3,2 persen harus diturunkan. "Mungkin 2-3 persen kalau proteksionisme, misalnya di AS, menjadi semakin masif," kata Yose.
Yose mengatakan salah satu terobosan Indonesia untuk menumbuhkan kemampuan ekspornya adalah dengan mempertahankan kapasitas ekspor di wilayah sumber tujuan ekspor utama.
Pada kenyataannya, nilai ekspor Indonesia ke negara tujuan utama justru berkurang. Misalnya, AS sebagai sebagai salah satu destinasi ekspor terbesar Indonesia berkurang dari semula 1,1 sampai 1,2 persen dari seluruh impor AS menjadi 0,8 sampai 0,9 persen.
Mencari pasar ekspor baru, kata Yose, dapat pula menjadi salah satu terobosan meningkatkan ekspor, namun hal tersebut jangan dijadikan alasan ketidakmampuan mempertahankan pasar yang lama. "Pasar baru boleh saja, biar bagaimanapun pusat perekonomian masih ada di negara-negara lama, seperti AS, Eropa dan Cina," ucap dia.
Sementara itu, peneliti di Departemen Ekonomi CSIS, Haryo Aswicahyono, menjelaskan bahwa salah satu strategi ekspor yang dapat diterapkan dalam situasi proteksionisme adalah dengan aktif menjalin kerja sama biateral.
"Ketika multilateralisme melalui organisasi internasional semakin susah, maka Indonesia perlu aktif di bilateral sehingga kemudian dibutuhkan kemampuan negosiasi," ucap dia.
Haryo berharap Kementerian Perdagangan mampu meningkatkan kemampuan analisis dan pembangunan kapasitas agar negosiasi di tingkat bilateral dapat menghasilkan keuntungan ekonomi bagi Indonesia.
ANTARA