TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, mengusulkan sektor pertanian dibenahi untuk memperbaiki kualitas pertumbuhan ekonomi.
Dia melihat sektor pertanian menyerap tenaga kerja sebanyak 35 persen dan berkontribusi 15 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
“Sektor pertanian harus dibereskan. Langkah-langkahnya banyak, utamanya di sektor pertanian hortikultura,” kata Eko saat ditemui di kantor Indef, Jakarta Selatan, Kamis, 29 Desember 2016.
Salah satu ide yang diberikan oleh Eko adalah klasterisasi komoditas pangan. Klasterisasi ini dibagi tiga, yakni komoditas pertanian untuk ekspor, komoditas dengan keterkaitan tinggi dengan inflasi, dan komoditas yang memberikan dampak besar pada pendapatan petani.
Menurut Eko, klasterisasi memperjelas sasaran komoditas tersebut, serta akan melahirkan penanganan yang tepat terhadap komoditas-komoditas tersebut.
Eko memandang, selama ini, ada komoditas pertanian yang meningkat harganya, tapi kenaikan itu tidak dinikmati petani, tapi para distributor.
Karena itu, selain melakukan klasterisasi, Eko juga menyerukan perlunya perbaikan tata niaga komoditas pertanian. Perbaikan secara institusional, menurut dia, bisa menghasilkan margin yang awalnya dinikmati pedagang, bisa dinikmati petani.
Implikasi perbaikan sektor pertanian akan memiliki implikasi besar, misalnya pada hari raya. Sebab, harga-harga komoditas naik, tapi petani tidak sampai menikmati hasil kenaikan tersebut. “Ada momentum-momentum harga bagus, mendorong petani untuk menanam,” ujar Eko.
Namun, mengingat lahan pertanian yang sempit, Eko mengungkapkan perlunya intensifikasi. Masalah intensifikasi perlu didukung research and development yang kuat. Sampai saat ini diketahui dukungan bagi kegiatan R&D masih kecil.
Dari data yang dimiliki Indef, R&D spending di Indonesia masih kecil dibandingkan dengan negara-negara lain, yaitu baru 0,27 persen dari PDB pertanian. Padahal Malaysia memiliki angka 1,92 persen dari PDB pertanian mereka untuk R&D.
Karena kegiatan R&D yang rendah inilah, penemuan benih unggul yang dihasilkan tak sesuai dengan harapan. Padahal return on investment untuk R&D tinggi, yaitu antara 43 persen sampai 151 persen.
DIKO OKTARA