TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak pernah mencapai 7 persen selama bertahun-tahun. Ia mengatakan Indonesia perlu mengembangkan industri.
Menurut Darmin, kebutuhan industri akan meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Namun industri Indonesia masih banyak mengandalkan impor. Akibatnya defisit neraca transaksi berjalan pun membengkak.
"Setelah dicermati, salah satu alasannya adalah Indonesia tidak memiliki jalur industri dasar dan turunannya," katanya di Balai Kartini, Jakarta, Senin, 19 Desember 2016.
Baca: Ekonom UGM Ungkap 3 Faktor Penentu Pertumbuhan Nasional
Ia pun menyarankan agar industri petrokimia dikembangkan. Meski sudah ditugaskan kepada PT Pertamina (Persero), menurut Darmin, industri tersebut masih tidak berkembang. "Tidak tahu apakah lebih hemat dagang dibandingkan bangun pabrik. Tapi intinya enggak jalan," kata dia.
Industri lain yang perlu dikembangkan ialah farmasi. Darmin mengatakan pemerintah telah mengeluarkan dana besar untuk jaminan kesehatan. Baginya, aneh jika industri farmasi tidak bisa dikembangkan. "Masa kami keluarkan dana besar tapi masih impor dari luar. Itu bodoh namanya," katanya.
Baca: Fed Fund Naik, Sri Mulyani: Ekonomi RI Tak Terpengaruh
Menurut Darmin, industri farmasi sangat bisa dikembangkan. Pemerintah telah membuka investasi bagi asing hingga 100 persen untuk industri tersebut. Ia mengatakan investor bisa masuk di produksi hilir atau produksi obat generik tapi tidak mampu masuk ke hulu.
Darmin mengatakan obat generik saat ini sudah relatif murah. Namun harganya bisa kembali ditekan jika investasi hulunya berada di Indonesia.
Industri lainnya yang juga perlu dikembangkan ialah besi dan baja. "Kami mendorong asing untuk bekerja sama dengan Krakatau Steel," kata dia.
Dengan pengembangan industri tersebut, Darmin mengatakan proyek listrik 35 ribu MW akan terbantu. Jika industri besi dan baja tak berkembang, Indonesia akan kembali impor padahal proyek tersebut butuh besi dan baja.
VINDRY FLORENTIN