TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia berpotensi mengalami gangguan perekonomian dari kebijakan dalam negeri pemerintah Cina dan Amerika Serikat pada 2017. Potensi risiko tertinggi datang dari rencana Cina mengubah kebijakan pertumbuhan ekonominya dari berbasis investasi menjadi konsumsi.
“Dampak moderasi Cina lebih besar efeknya, meskipun presiden terpilih AS, Donald Trump, lebih ekstrem kebijakannya,” ujar Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro di kantornya, Jakarta, Kamis, 8 Desember 2016.
Dalam pemaparan Outlook Perekonomian Indonesia 2017, Bambang memperkirakan pertumbuhan ekonomi nasional berada di kisaran 5,1-5,3 persen (baseline). Angka itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan target pertumbuhan ekonomi pemerintah sebesar 5,1 persen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2017.
Cina berencana mengetatkan kebijakan ekonomi untuk menghadapi risiko meningkatnya utang. Saat ini, pertumbuhan ekonomi Cina sebesar 6,6 persen dan diperkirakan naik menjadi 6,3 persen tahun depan.
Pengetatan dilakukan dengan mengalihkan basis pertumbuhan dari investasi ke konsumsi. Bila ekonomi Cina mengalami perlambatan, pertumbuhan ekonomi Indonesia bakal terpengaruh sebesar -0,72 persen dari baseline. “Mereka menyikapi peningkatan utang swasta dan pemerintah. Tapi lebih banyak pada utang BUMN,” kata Bambang.
Pengaruh dari Amerika Serikat, kata Bambang, berasal dari janji kampanye Trump, di antaranya berupa penerapan amnesti pajak dan memotong anggaran untuk kebijakan populis. Trump juga berencana menerapkan proteksi perdagangan dengan mengenakan tarif 34-45 untuk perdagangan dengan Cina dan Meksiko.
Kalau kebijakan itu berujung pada perlambatan ekonomi Amerika Serikat dan global, menurut Bambang, investasi Amerika di negara lain, termasuk Indonesia, juga akan turun. “Kita bisa mengalami perlambatan,” tutur Bambang. Bappenas menghitung perlambatan ekonomi Amerika Serikat bakal mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi -0,4 persen dari baseline.
KHAIRUL ANAM