TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Institute for Develompment of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini mengkritik profil Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2016 yang dinilai masih belum akan banyak mendorong pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut terlihat dari alokasi anggaran penerimaan negara yang tidak dioptimalkan untuk pembangunan infrastruktur.
Didik menilai semangat kebijakan fiskal yang termaktub dalam APBN tersebut tidak akan terlalu banyak mendorong pertumbuhan ekonomi. “Itu yang harus diefisienkan," katanya saat ditemui di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Kamis, 8 Desember 2016. Salah satu yang dia sangsikan dari APBN adalah penerimaan negara yang berasal dari pengampunan pajak atau tax amnesty.
Didik membandingkan APBN di pemerintahan Presiden Jokowi dengan masa pemerintahan Presiden Soeharto. Pada saat itu, anggaran belanja sebesar Rp 80 triliun dipakai untuk membuat sarana infrastruktur di antaranya adalah jalan dan saluran irigasi.
Bila dibandingkan sekarang, menurut Didik, alokasi anggaran Rp 1.000 triliun ditujukan untuk membangun jalan sepanjang 200-300 kilometer dinilai tidak efisien dalam penggunaannya. “Ibaratnya kita punya kartu kredit lima, tapi dipakai macam-macam penggunannya, kan kacau. Itu evaluasi kami.”
Dengan begitu, Didik pestimistis tahun depan ekonomi bisa tumbuh 5 persen. Prediksinya bertentangan dengan keyakinan pemerintah yang optimistis pertumbuhan bisa menembus 5,3 persen di 2017. “Yang realistis sekitar 5 persen karena kebijakan yang kita keluarkan, kesaktiannya sudah mulai turun atau nggak berpengaruh signifikan," ucapnya.
Salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi yang kini tak lagi kinclong kinerjanya adalah ekspor karena terimbas pelemahan ekonomi global. Oleh karena itu, menurut dia, hal yang paling tepat dilakukan pemerintah adalah memperkuat pertumbuhan domestik."Deregulasi, efisiensi, investasi yang sgala macam itu diberesin sehingga ekonomi lebih lancar menggunakan pasar dalam negeri kita. Harus didorong.”
DESTRIANITA