TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman menilai, PT Pertamina (Persero) perlu diberikan kewenangan menguasai aset melalui monetisasi agar aset yang tak bernilai menjadi bernilai. Namun untuk itu perlu dibuatkan payung hukumnya. “Jika itu dirasa memberi manfaat besar kepada Pertamina, bisa saja pimpinan perusahaan meminta kepada pemerintah dan DPR untuk segera membuat payung hukumnya,” ucapnya seperti dikutip dari siaran pers, di Jakarta, Rabu, 7 Desember 2016.
Yusri menilai positif ide monetisasi bertujuan menaikan international leverage Pertamina. Dengan monetisasi cadangan minyak di dalam bumi, kalau bisa diagunkan sebagai pengaman akan membuat aset makin besar. Sekaligus modal ekspansi ke luar negeri.
Pengamat energi ini juga menilai, pemerintah perlu memberikan dukungan kepada Pertamina agar bisa bersaing di tingkat global. Yakni dengan memberi izin Pertamina untuk membereskan sejumlah hal di dalam negeri seperti membangun kilang minyak, mengambil blok-blok energi yang sudah habis masa kontraknya. “Pemerintah harus mendukung karena pada dasarnya ini semua dilakukan untuk ketahanan energi nasional,” katanya.
Yusri mendukung adanya harapan agar pemerintah dan DPR memberikan keleluasaan kepada Pertamina untuk memanfaatkan keuntungan atau dividen untuk ekspansi lahan migas di luar negeri. “Jangan biarkan oknum-oknum baik dari pemerintah maupun DPR mengambil kesempatan pribadi misalnya dengan meminta proyek, atau penugasan ini itu di Pertamina,” kata Yusri.
Namun Yusri menyarankan direksi Pertamina harus membuka diri dan transparan dalam pengelolaan manajemen dan keuangan. Bekerja sama dengan KPK dalam hal transparansi akan banyak manfaat yang didapat pertamina.
Menurut Yusri, transparan merupakan bagian dari pengelolaan dana yang bisa diprioritaskan untuk melakukan ekspansi ke luar negeri. "Saya yakin Pertamina mampu melakukannya apalagi di jajaran direksi sekarang ini ada Wakil Meteri ESDM Arcandra Thahar yang sangat menguasai migas."
Selama ini bukan rahasia umum bahwa pola perekrutan direksi tak melibatkan orang-orang yang menguasai migas. Sementara itu Laporan keuangan Pertamina pada kuartal III tahun ini menyebutkan perseroan telah meneken head of agreement (HoA) dengan Repsol untuk mengembangkan Treated Distillate Aromatic Extract (TDAE) Plant pada Refinery Unit IV, Cilacap. Pabrik itu akan dibangun dengan kapasitas 60 ribu ton per tahun TDAE untuk melakukan proses destilasi ekstrak aromatik (distillate aromatic extract) menjadi bahan karet sintetis dan ban.
Proyek itu akan mulai dioperasikan pada 2019 dengan investasi mencapai US$ 80 juta. Pertamina juga terus mendorong program efisiensi breakthrough project (BTP) dengan sejumlah langkah inisiatif yang baru. Pada kuartal III 2016, program itu telah menghasilkan penghematan hingga USD 1,6 miliar. Berdasarkan situs resmi perseroan, tahun ini Pertamina akan memprioritaskan sejumlah proyek.
Sebelumnya, Vice President Corporate Communication Pertamina, Wianda Pusponegoro, mengatakan, akuisisi blok-blok migas di luar negeri akan menjadi salah satu aksi korporasi penting bagi Pertamina. Pada 2030, Pertamina berharap dari ladang-ladang migas di dalam dan luar negeri dapat diperoleh 2 juta BOEPD per hari.
Terkait dengan itu, sampai 2030 Pertamina telah menyiapkan anggaran sebesar US$ 146 miliar untuk investasi di sektor hulu dan hilir. Pertamina juga sedang menjajaki kerja sama di Afrika Barat, Timur Tengah, dan Asia Barat.
Selain itu juga ada rencana kerja sama mengelola blok migas dengan Rosneth di Rusia. Selain itu, kerja sama mengelola blok migas di Iran juga dimatangkan. Blok-blok yang diincar Pertamina adalah yang cadangan minyaknya minimal 50 juta barel dan produksi di atas 35.000 BPH.
SETIAWAN ADIWIJAYA