TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Perusahaan Penjaminan Indonesia memperkirakan bisnis penjaminan dapat tumbuh 20% pada 2017.
Nanang Waskito, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Penjaminan Indonesia (Asippindo), menuturkan faktor pendukung berkembangnya industri penjaminan pada 2017 ialah semakin banyaknya jumlah perusahaan penjaminan terutama yang dibentuk pemerintah daerah.
“Estimasi pertumbuhan 2017 cukup besar sekitar 20%. Semakin banyaknya perusahan penjaminan yang baru lahir khususnya di lima provinsi,” kata Nanang, Senin (28 November 2016).
Dia memperkirakan semakin banyak pelaku usaha kecil dan menengah di daerah yang akan mendapatkan fasilitas penjaminan. Selain itu, katanya, perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 5% pada tahun depan juga akan menggairahkan industri penjaminan. Dengan estimasi pertumbuhan ini potensi usaha mikro kecil dan menengah menyerap kredit semakin tinggi.
Hal lain yang mendorong industri penjaminan pada 2017 ialah dibukannya bisnis yang lebih luas bagi perusahaan penjaminan seiring hadirnya Undang-Undang Penjaminan. “Diterbitkannya POJK yang merupakan tindak lanjut pelaksanaan UU Penjaminan mendorong pertumbuhan industri,” ujar Nanang.
Hingga triwulan III/2016, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat outstanding penjaminan yang telah disalurkan industri mencapai Rp128,65 triliun. Jumlah ini terdiri dari penjaminan usaha produktif senilai Rp66,72 triliun, sedangkan selebihnya untuk penjaminan usaha non produktif senilai Rp61,92 triliun.
Dengan capaian itu maka gearing ratio usaha produktif telah mencapai enam kali ekuitas, atau masih di bawah ketentuan yang diizinkan yakni 10 kali. Adapun gearing ratio usaha non produktif mencapai enam kali dari 30 kali yang diperbolehkan.
Sementara itu, untuk pilihan investasi OJK mencatat industri penjaminan menempatkan sebagian besar dananya di instrumen deposito. Dari Rp9,4 triliun dana investasi, sebanyak Rp6,1 triliun ditempatkan pada deposito, diikuti reksa dana Rp1,5 triliun, obligasi Rp900 miliar, surat utang negara Rp374 miliar, saham Rp264 miliar, penyertaan langsung Rp250 miliar, dan efek beragunan aset Rp22 miliar.
Jumlah nasabah yang mendapatkan fasilitas penjaminan mencapai 5,36 juta orang, atau tumbuh 29% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat 4,17 juta orang. Hingga triwulan III/2016, industri penjaminan membukukan laba bersih Rp470 miliar, atau lebih rendah ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya Rp488 miliar.
Diding S. Anwar, Direktur Utama Perum Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo), menuturkan perusahaan menargetkan memberikan penjaminan Rp135 triliun pada 2017. Jumlah itu naik 17% dari target 2016 sebesar Rp115 triliun.
Dia mengatakan sebanyak Rp85 triliun diharapkan datang dari penjaminan non Kredit Usaha Rakyat (KUR), sedangkan sisanya Rp50 triliun dari kredit KUR.
Diding mengatakan ruang ekspansi yang tersedia tidak cukup lebar akibat keterbatasan ekuitas, sehingga pihaknya tidak dapat berekspansi agresif. Keterbatasan itu membuat gearing ratio perusahaan sudah hampir mencapai batas ketentuan yang diizinkan terutama untuk penjaminan produktif.
"Kami patuh terhadap aturan. Sebagai operator kami wajib memenuhi semua kebijakan. Tentu pemegang saham serta OJK akan memperhatikan," katanya.
Gearing ratio ialah jumlah pinjaman dibandingkan dengan modal sendiri. Berdasarkan regulasi yang ada saat ini gearing ratio perusahaan penjaminan dibatasi maksimal 10 kali untuk kredit produktif dan 30 kali untuk kredit non produktif.
Diding berharap OJK dapat melonggarkan kebijakan gearing ratio. Apalagi di berbagai negara, gearing ratio industri penjaminan cenderung longgar. Menurutnya, Jepang menganut gearing ratio 80 kali ekuitas. "Di Indonesia tidak perlu sebesar itu 25 kali saja sudah sangat membantu."
Pelonggaran juga dapat dilakukan oleh pemegang saham. Dia mengatakan dengan realisasi penjaminan yang sudah diberikan Jamkrindo, maka ruang ekspansi dapat ditambah dengan menaikkan ekuitas perusahaan. Menurutnya, dalam APBN Perubahan 2016, Jamkrindo mendapat penyertaan modal negara sebesar Rp500 miliar.