TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagyo, mengatakan diperlukan filter dari regulator soal buzzer di media sosial agar tak menyebarkan informasi bohong atau hoax. Alasannya, menjadi buzzer saat ini merupakan sebuah pekerjaan bagi sejumlah orang, dan dia melihat sudah banyak orang bekerja sebagai buzzer.
"Harus ada tata krama, supaya jangan menyebarkan informasi bohong," ucap Agus ketika ditemui saat menjadi pembicara dalam sebuah diskusi di Warung Daun, Jakarta Pusat, Sabtu, 26 November 2016.
Agus berujar, kalau undang-undang di Indonesia, deliknya harus berupa aduan masyarakat. Dengan kondisi itu, ada saja masyarakat yang tidak mau mengadu dengan alasan repot. Hal itulah yang membuat dia merasa pemerintah harus membuat tool, yang bisa membantu masyarakat menilai informasi ini palsu atau tidak.
Terlebih, Agus menilai masyarakat saat ini mudah menelan begitu saja informasi yang ada, tanpa mencerna dengan baik. Hal ini ditambah jika informasi yang diakses masyarakat memiliki unsur agama dan suku.
Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Henry Subiakto menuturkan ada sebuah buku dari buzzer asal Amerika Serikat yang berisi pengakuan telah menjadi buzzer dan menyebarkan informasi-informasi bohong ke masyarakat. "Judul bukunya Trust Me, I'm Lying, dan dia mengaku bikin media abal-abal."
Si pembuat buku mengakui telah menyebarkan informasi bohong, tapi lama-kelamaan masyarakat melalui media sosial malah mempercayai informasi yang disebarkannya. Hal inilah yang saat ini terjadi di Indonesia. "Banyak media abal-abal, dan diternak," ujar Henry.
Adapun anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Rony Mamur Bishry, mengatakan perkembangan media sosial sangat cepat. Hal itu, ucap dia, harus memiliki dampak positif pada pembangunan negara. Karena itu, media sosial harus digunakan secara bijak. "Jangan sampai bisnis hater yang berkembang."
DIKO OKTARA