TEMPO.CO, Surabaya -- Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menyatakan pelemahan nilai tukar rupiah pada Kamis 24 November dan Jumat 25 November bukan karena pasar bereaksi atas rencana demonstrasi Aksi Bela Islam Jilid III pada 2 Desember 2016 dan isu penarikan uang tunai atau rush money.
"Kita perbankannya sehat, likuditasnya juga baik. Pelemahan karena faktor di luar negeri," kata Agus di Surabaya, Jumat 25 November 2016.
Dua hari ini, nilai tukar rupiah atas mata uang dolar Amerika Serikat Rp 13.500 per dolar. Agus menjelaskan, mata uang dolar negeri Paman Sam itu menguat setelah adanya rilis soal data-data perbaikan ekonomi AS pada Rabu 23 November 2016 lalu.
Adanya sentimen positif ekonomi Amerika Serikat membuat pelaku pasar yakin Bank Sentral AS atau The Federal Reserve akan menaikkan suku bunga acuannya pada 14 Desember 2016. Ini berdampak pada pergerakan arus modal negara tersebut, sehingga memperkuat kurs dolar AS dan memperlemah seluruh mata uang selain dolar AS, termasuk rupiah.
Agus berujar, volatilitas nilai tukar rupiah ini hanya bersifat sementara. Dia menambahkan, volatilitas kurs rupiah juga karena ketidakpastian kebijakan ekonomi Presiden AS terpilih Donald Trump. Pelaku pasar masih menunggu kepastian mengenai kebijakan fiskal Trump dan kabinet menteri yang akan membantunya. Pelaku pasar juga menyoroti, apakah Trump benar-benar akan merealisasikan kebijakan fiskal yang ekspansif, sehingga memperbesar nilai penerbitan surat utang ke pasar.
Mirza Adityaswara, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia mengatakan dolar menguat terhadap semua mata uang di dunia, bukan cuma rupiah. "Semua menunggu kebijakan baru Trump," ucapnya, Kamis 24 November 2016.
Dia memperkirakan pasar kembali normal sekitar Januari-Februari 2017. Menurutnya, publik menantikan pelantikan Trump dan pidatonya. "Kami yakin saat itu pasar kembali normal," ujarnya.
ANTARA