TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia Agus D.W. Martowardojo dalam pertemuan tahunan menyampaikan perekonomian global dan domestik masih melambat sepanjang tahun ini. Namun, perekonomian nasional direspons cukup baik dan kondusif.
BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini akan berada di sekitar 5 persen. "Ini cukup mengesankan dibandingkan capaian negara lain," ujar Agus dalam sambutannya, di Jakarta Convention Center, Senayan, Selasa, 22 November 2016.
Agus mengatakan inflasi akhir tahun ini akan berada pada 3-3,2 persen atau lebih rendah dari tahun lalu sebesar 3,4 persen.
"Perekonomian yang kondusif tidak lepas dari sinergi kebijakan BI dan pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi dan mendorong permintaan domestik."
Indikator makro ekonomi lainnya, seperti nilai tukar rupiah dilaporkan stabil, defisit transaksi berjalan (CAD) rendah, defisit APBN terjaga, dan sistem perbankan yang berketahanan.
Agus mengatakan stabilitas ekonomi yang terjaga ini memberikan ruang bagi BI untuk melonggarkan kebijakan moneter, di antaranya adalah penurunan suku bunga kebijakan BI dan Giro Wajib Minimum (GWM) hingga sebesar 150 basis point dalam setahun terakhir. "Hal ini juga disertai dengan pergantian BI Rate menjadi 7 days repo rate."
Agus menjelaskan, pihaknya juga terus melakukan penyesuaian kebijakan makroprudensial untuk menopang pertumbuhan ekonomi. "Kita juga masih perlu antisipasi masalah perekonomian global," ucapnya. Resiliansi perekonomian domestik perlu diperkuat. "Tantangan ekonomi harus segera dijawab agar perlambatan ekonomi segera berbalik arah."
Tantangan jangka pendek, menurut Agus, adalah dari sisi stimulus fiskal yang belum mampu menarik swasta berinvestasi. Terlebih, kondisi korporasi saat ini sedang fokus melakukan konsolidasi dan efisiensi.
Agus juga berujar transmisi kebijakan moneter ke perbankan belum optimal, yang ditandai dari penurunan suku bunga kredit yang masih lambat. Pertumbuhan kredit hingga triwulan III 2016 tercatat sebesar 6,5 persen atau lebih rendah dari periode tahun lalu sebesar 10 persen.
Tantangan dari sektor riil, kata Agus, masih berkutat dari struktur pasar yang perlu lebih efisien, komposisi barang ekspor yang masih terlalu bergantung pada sumber daya alam, dan industri manufaktur yang menurun.
"Struktur dana perbankan belum berimbang, struktur pembiayaan domestik belum beragam, dan pasar keuangan belum dalam," katanya.
GHOIDA RAHMAH