TEMPO.CO, Boyolali - Kementerian Perdagangan boleh saja optimistis kinerja ekspor Indonesia tak akan terganggu atas terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat. Namun, sebagian perusahaan berorientasi ekspor tetap gelisah. Salah satunya, PT ECO Smart Garment Indonesia (ESGI), perusahaan garmen terbesar di Boyolali, Jawa Tengah.
"Kalau Trump jadi menghapus rencana pembentukan TPP (Trans Pacific Partnership) dan menaikkan pajak barang impor, kinerja ekspor kita pasti terganggu,” kata Human Resource Manager ESGI Nurdin Setiawan, Minggu, 13 November 2016.
Baca: Soal Pajak Google, Sri Mulyani: Fair Jika Mereka Harus Bayar
Nurdin khawatir, ke depan, harga menjadi tak kompetitif. Pembeli akan mengalihkan order ke negara lain. Padahal, selama ini eksportir terus mendorong pemerintah agar segera bergabung ke TPP, seperti Vietnam, Singapura, Brunei, dan Malaysia.
Sejumlah ekonom memprediksi rencana pembentukan TPP bakal buyar jika Trump merealisasi janji kampanyenya untuk memproteksi industri atau pasar domestik Amerika. Padahal, TPP belum selesai diratifikasi oleh 12 negara calon anggota. Selain menjanjikan pasar ekspor baru lebih luas, TPP menawarkan penghematan tarif ekspor. “Tapi, janji manis itu kini di ujung tanduk,” ujar Nurdin.
Baca: Tol Jakarta-Cikampek II Mulai Konstruksi Awal 2017
Sebelum TPP terwujud, pajak barang impor ke Amerika sebesar 13 persen sudah memberatkan. ESGI memakai 70 persen bahan baku impor. "Mendatangkannya juga makan waktu lebih lama. Sehingga ongkos produksi makin besar," kata dia. Jika Trump jadi menaikkan pajak impor hingga 30 persen, harga produk jadi tak kompetitif. “Pembeli akan mengalihkan order ke negara lain.”
ESGI adalah perusahaan patungan PT Pan Brothers Tbk dengan Mitsubishi Corporation. Mereka memproduksi produk, seperti Japanese Brands, Adidas, The North Face, Salomon, Nike, Under Armour, J Crew, H&M, dan Hugo Boss.
ESGI punya empat pabrik di Boyolali. Perusahaan menargetkan omzet 27,5 juta pieces setara Polo Shirt (senilai US$ 175 juta) untuk diekspor ke Amerika, dan sejumlah negara di Eropa dan Asia. Dari total itu, sekitar 20 persen untuk pasar Amerika. "Kami masih menunggu apakah rencana kebijakan ekonomi Trump akan dijalankan," kata Nurdin. Dia juga berharap pemerintah bisa mencari solusi terbaik agar ekspor ke Amerika tak tertekan.
DINDA LEO LISTY