TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Kebijakan Fiskal Suahasil Nazara mengatakan usulan pembentukan asuransi bagi pengangguran harus dikaji kembali agar tidak tumpang tindih dengan jenis jaminan lain. Sebab, Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 telah mengatur sejumlah perlindungan bagi pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja.
Menurut Suahasil, pemerintah perlu mencermati pengalaman sejumlah negara yang telah memberlakukan asuransi khusus ini. Salah satunya Australia. "Kami harus mencermati apa tolok ukur negara lain, karena sebenarnya sudah ada beberapa elemen dalam sistem yang dianggap melindungi para pekerja terkena PHK karena siklus bisnis," katanya di kantor Direktorat Jenderal Pajak, Senin, 7 November 2016.
Jaminan kesejahteraan bagi pekerja yang terkena PHK di antaranya uang penghargaan, uang pesangon, dan jaminan hari tua. Pengelolaan jaminan hari tua dilakukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro mewacanakan pembuatan asuransi bagi pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja. Jaminan berlaku hingga mereka mendapatkan pekerjaan kembali. "Sehingga ketika dalam tahap mencari pekerjaan baru, dia mempunyai bantalan untuk menjaga rumah tangganya," katanya, pekan lalu.
Bambang mengatakan dana jaminan bisa diambil dari alokasi BPJS Ketenagakerjaan atau bantuan pemerintah. "Perlu ada hitungan berapa persen dari APBN dan ada batasnya," ujarnya. Namun ia enggan menjelaskan lebih rinci mekanisme perhitungannya.
Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan Destry Damayanti mengatakan sistem asuransi seperti itu hanya bisa diterapkan di negara maju. Sebab, sumber pendanaan negara maju lebih banyak dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi. "Kita masih berkutat di isu bahan bakar minyak, jaminan kerja, dan kesehatan gratis dengan pendapatan menengah (middle income)," ucapnya.
PUTRI ADITYOWATI