TEMPO.CO, Depok - Deputi Kedaulatan Maritim Kementerian Koordinator Kemaritiman Arief Havas Oegroseno mengatakan Indonesia mesti mendobrak sistem hukum di kawasan maritim. Terutama dalam membuat instrumen hukum di kawasan regional. Musababnya, di kawasan maritim tidak hanya masalah pencurian ikan, melainkan banyak tindak pidana lain yang dilakukan di perairan.
"Banyak tindak pidana lain di dalam perairan Indonesia. Sehingga instrumen hukum di kawasan Indonesia harus diperkuat," kata Arief dalam diskusi penegakan hukum pada penangkapan ikan ilegal oleh kapal asing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kamis, 20 Oktober 2016.
Ia menuturkan, Indonesia telah bertemu dengan 22 negara untuk membentuk suatu instrumen hukum di kawasan regional. Pertemuan negara-negara tersebut digelar pertama kali pada 22 Mei 2016 dan pertemuan kedua pekan lalu di Yogyakarta.
Menurut Arief, pengawasan perairan di Indonesia sudah cukup baik, tapi perlu ditingkatkan dalam sisi proses peradilannya. Dalam memperkarakan masalah hukum di perairan di pengadilan, kata dia, tidak hanya undang-undang perikanan saja yang digunakan. "Kalau ada orang yang diperbudak, gunakan undang-undang perdagangan orang untuk menjerat pelanggarannya," ujarnya.
Arief menjelaskan, banyak masalah terjadi di kawasan maritim, seperti masalah administrasi ikan yang tidak dilaporkan, laporannya kurang sesuai, pemindahan ikan di laut, serta pengambilan ikan yang tidak ramah lingkungan dengan menggunakan bom dan sianida.
Di sisi lain, lanjut Arief, ada pula kegiatan perikanan terkait dengan tindak pidana yang tidak ada hubungannya dengan perikanan, tapi kegiatannya dalam mata rantai perikanan. Contohnya, pemalsuan dokumen, korupsi dalam mendapatkan dokumen, menyelundupkan binatang langka, senjata, narkoba, perdagangan orang, dan memperbudak orang. "Itu masuk mata rantai perikanan, tapi bukan kegiatan perikanan. Indonesia mesti memperkuat tidak instrumen hukumnya, agar tidak ada aturan yang dilanggar," kata Arief.
IMAM HAMDI