TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan hari ini, Kamis, 20 Oktober 2016. Pada rapat Oktober ini, BI diperkirakan belum akan memanfaatkan ruang pelonggaran kebijakan moneternya atau memilih menahan bunga acuan 7 Days Repo Rate tetap 5 persen.
Salah satu penyebabnya adalah belum adanya konfirmasi dari rencana pengurangan subsidi listrik yang akan tertuang dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017. Saat ini RAPBN 2017 masih dibahas antara pemerintah dan DPR, dan baru akan diputuskan akhir Oktober.
"Ini penting karena kepastian pengurangan subsidi listrik akan mempengaruhi outlook inflasi tahun depan dan kebijakan suku bunga BI," ujar ekonom Josua Pardede saat dihubungi, Kamis, 20 Oktober 2016.
Josua mengatakan BI juga tampaknya akan mencermati data ekonomi domestik, yaitu produk domestik bruto (PDB) pada kuartal tiga 2016, serta arah kebijakan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (Fed Funds Rate) yang dapat mempengaruhi nilai tukar rupiah.
Adapun terkait dengan lambatnya pertumbuhan kredit tahunan, menurut Josua, hal itu dipengaruhi kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih. "Siklus bisnis belum recovery kalau melihat dari perkembangan sektor riil Indonesia," katanya.
Kondisi ini, kata Josua, juga dipengaruhi penurunan kinerja ekspor sehingga valuta asing (valas) cenderung terkontraksi. Dia menuturkan transmisi pelonggaran kebijakan moneter saat ini belum cukup optimal untuk mendorong sisi permintaan perekonomian. Dengan demikian, kegiatan dunia usaha masih lesu, begitu juga kualitas kredit yang cenderung menurun.
Josua mengatakan pelonggaran kebijakan moneter perlu dikombinasikan dengan kebijakan lain yang akan mendorong kembali pemulihan sisi perekonomian. Ia mencontohkan, pelonggaran kebijakan moneter, seperti penurunan suku bunga dan giro wajib minimum (GWM), seharusnya dapat dioptimalkan untuk mendorong pertumbuhan kredit.
"Namun nyatanya penempatan perbankan melalui instrumen operasi pasar BI yang justru meningkat," ujarnya. Sebab, menurut Josua, perbankan juga mempertimbangkan risiko kredit yang tinggi. "Sehingga mereka cenderung lebih prudent dalam penyaluran kredit, di samping permintaan kredit juga menurun."
GHOIDA RAHMAH