TEMPO.CO, Jakarta - Memasuki perdagangan awal pekan ini, pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG diperkirakan rawan koreksi lanjutan, dengan meningkatnya spekulasi kenaikan bunga Fed Fund Rate (FFR) di Amerika Serikat akhir tahun ini yang berimbas pada penguatan dolar AS.
Analis ekonomi First Asia Capital David Sutyanto memperkirakan IHSG akan bergerak dengan support di 5330 dan resisten di 5410.
"Koreksi harga komoditas energi dan logam akhir pekan lalu berpotensi memicu aksi ambil untung atas saham sektoral berbasiskan komoditas," ucap David dalam pesan tertulisnya Senin, 10 Oktober 2016.
Perdagangan saham akhir pekan lalu kembali didominasi tekanan jual dengan nilai trasaksi yang tipis hanya mencapai Rp 4 triliun. IHSG akhir pekan lalu tutup koreksi 32,195 poin (0,59 persen) di 5377,14.
Koreksi terutama melanda sejumlah saham sektoral yang sensitif interest-rate dipicu kekhawatiran kenaikan tingkat bunga di AS yang berdampak pada arus dana keluar dan penguatan mata uang dolar terhadap mata uang emerging market termasuk rupiah.
Penjualan bersih pemodal asing akhir pekan lalu mencapai Rp 760,33 miliar. Pergerakan IHSG akhir pekan lalu lebih dipengaruhi pergerakan pasar saham global dan kawasan menyusul antisipasi pasar atas data tenaga kerja AS yang akan keluar di akhir pekan lalu yang menjadi faktor penting bagi The Fed untuk menentukan kebijakan suku bunganya ke depan.
Meski demikian, selama sepekan IHSG berhasil rebound 0,23 persen setelah pekan sebelumnya koreksi 0,45 persen. Sentimen pasar sepekan kemarin bervariasi. Faktor positif terutama berasal dari domestik terutama sentimen atas keberhasilan pencapaian dana tahap I program tax amnesty yang mencapai hampir Rp 100 triliun.
Sedangkan dari eksternal risiko pasar cenderung meningkat terutama dipicu kekhawatiran kebijakan moneter yang akan diambil oleh bank sentral AS ( The Fed) dan Uni Eropa (ECB) menjelang akhir tahun.
Selain isu seputar kebijakan moneter bank sentral utama dunia tersebut, pasar sepekan kemarin juga digerakkan dengan rally harga sejumlah komoditas energi seperti minyak mentah dan batu bara. Harga minyak mentah sepekan kemarin naik 3,25 persen menandai penguatan selama tiga pekan berturut-turut di US$ 49,81 per barel.
Sementara Wall Street akhir pekan lalu kembali tutup di teritori negatif. Indeks DJIA dan S&P masing-masing koreksi 0,15 persen dan 0,33 persen di 18240.49 dan 2153.74. Koreksi terutama dipicu tenaga kerja AS yang keluar akhri pekan lalu.
Meskipun penambahan angka kesempatan kerja di bawah perkiraan, namun tingkat upah per jam di AS September lalu naik 0,2 persen (mom) atau 2,6 persen (yoy) yang mengindikasikan inflasi meningkat dan menjadi faktor penentu kenaikan tingkat bunga FFR akhir tahun ini.
DESTRIANITA