TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah menjelaskan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan Di Bidang Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi dilakukan agar bisa memperbaiki iklim investasi.
"Kami menginventarisir berbagai permasalahan yang sebabkan investasi hulu Migas tidak menarik," kata Sri Mulyani saat ditemui di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Jumat, 23 September 2016.
Sri Mulyani melanjutkan permasalahan itu yang pertama adalah para kontraktor sering membandingkan PP 79 tahun 2010 yang menggantikan era assume and discharge, dengan cost recovery. Dalam era cost recovery pajak-pajak tidak langsung yang dibayarkan kontraktor, sebagai biaya operasi dapat dikembalikan. "Hal ini kurang menarik bagi investor."
Lalu yang kedua, dengan berlakunya PP 79 2010 ini, kontraktor dihadapkan dengan pajak-pajak yang dibayarkan pada kegiatan eksplorasi, antara lain pajak pertambahan nilai dan PBB. Hal ini dianggap sangat memberatkan kontraktor.
Alasan mengapa kontraktor keberatan terhadap poin kedua di atas adalah karena success rate penemuan migas masih rendah, yaitu kurang dari 40 persen pada. Hal ini memberatkan kontraktor yang harus menanggung biaya pajak selama tahap eksplorasi, apabila gagal menemukan migas yang mempunyai keekonomian.
Kemudian, masalah lain adalah nilai keekonomian proyek pengembangan migas yang semakin sulit. Penyebabnya adalah kegiatan eksplorasi dan pengembangan migas yang arah pencarian penemuannya menuju ke laut dalam, atau deep water.
Hal ini tentu membutuhkan teknologi yang besar serta pengembangan sumur-sumur yang secara keekonomian tidak menarik, namun harus dikembangkan. "Butuh capital spending tinggi, secara keekonomian memiliki resiko tinggi," ujar Sri Mulyani.
Hari ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Pelaksana Tugas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Luhut Binsar Pandjaitan mengadakan konferensi pers terkait revisi aturan tentang cost recovery tersebut. Mereka menjabarkan lima poin perubahan pokok dari aturan itu.
DIKO OKTARA