TEMPO.CO, Surabaya – Indonesia National Shipowners Association (INSA) mengatakan ada perbedaan perlakuan dwelling time antara Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta dan Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.
Adapun dwelling time ialah lama waktu yang dibutuhkan dalam proses barang/petikemas turun dari kapal atau barang/petikemas ditumpuk di lapangan penumpukan, hingga barang/petikemas keluar dari terminal/pelabuhan. Dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok rata-rata 3,2 hari, sedangkan di Tanjung Perak rata-rata 5,25 hari. (Baca: Dweliing Time Ditargetkan Hanya 3 Hari pada Akhir Oktober)
Pelabuhan Tanjung Priok disebut menerapkan peraturan ketat yang mengharuskan importir segera memindahkan peti kemas dari lapangan penumpukan dalam waktu 3 hari. Lebih dari itu, importir akan dikenai biaya Rp 5 juta per kontainer sehari.
"Padahal kalau dikeluarkan dari Lini 1 ke Lini 2 kan, butuh Haulage (pengangkutan), Lift on-Lift off, butuh storage. Itu cost (biaya) lagi bagi importir,” ujar Ketua Dewan Pimpinan Cabang INSA Surabaya, Stenven Handry Lesawengen saat dihubungi Tempo, Kamis, 22 September 2016.
Sedangkan di Pelabuhan Tanjung Perak, importir dikenai biaya tambahan lebih murah, yakni Rp 244 ribu per kontainer sehari. Tak heran, mereka lebih memilih meletakkannya di lapangan penumpukan pelabuhan (Lini 1) dibandingkan memindahkannya ke lapangan penumpukan sementara alias Lini 2. Steven mengatakan proses pemindahan itu menyebabkan biaya logistik membengkak. (Baca juga: 3 Faktor Penentu Dwelling Time di Pelabuhan Tanjung Perak)
“Ini jadi kontradiktif dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah, yang ingin mengurangi biaya logistik,” ucap dia.
Berdasarkan catatannya, kontainer impor yang keluar masuk Pelabuhan Tanjung Perak kurang lebih 600.000 TEUs per tahun. Artinya dalam satu bulan, berkisar ada 70.000-an TEUs yang dibongkar per bulan.
Stenven menyebutkan, petikemas yang sampai keluar gerbang pelabuhan sudah lebih dari 90 persen. Petikemas-petikemas yang berdiam di seaway setelah kapal dibongkar dan belum sampai keluar dari gate itu tidak sampai 10 persen. “Nah, itu yang dianggap dwelling time oleh Pak Jokowi. Cuma ratusan,” tuturnya. (Baca: Peti Kemas Ngendon di Tanjung Perak, Ini Alasan Pemiliknya)
Sementara itu Humas PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) III Edi Priyanto mengatakan, terdapat beberapa penyebab lamanya dwelling time di Tanjung Perak. Pada proses pre-clearance misalnya, adalah kurangnya kesadaran importir atau forwarder untuk mempercepat pengurusan import barang. Akibatnya, mereka cenderung tak segera mengurus ijinnya setibanya barang/petikemas di Pelabuhan. Pernyataan Edi ini senada dengan Kepala Polres Pelabuhan Tanjung Perak Ajun Komisaris Besar Takdir Mattanete. (Baca: Apa Penghambat Pemangkasan Dwelling Time di Tanjung Perak?)
“Termasuk kurang koordinasi antar instansi terkait perizinan, serta sering terjadinya gangguan pada Indonesia Nasional Single Window (INSW),” katanya.
Edi menekankan, tujuan memangkas dwelling time adalah demi efisiensi biaya logistik, khususnya terkait pengeluaran barang setibanya di terminal/pelabuhan. Proses ini, kata dia, terkelompok dalam subproses-subproses tertentu yang masing-masing merupakan tanggung jawab pihak/instansi/lembaga tertentu yang berdiri sendiri. (Baca: Dwelling Time di Tanjung Perak Bisa Terpangkas, Asalkan...)
ARTIKA RACHMI FARMITA
Selengkapnya soal penanganan dwelling time: kasus dwelling time