TEMPO.CO, Jakarta - DPR mendesak Google untuk patuh kepada RPM tentang Penyediaan Layanan Aplikasi atau Konten Melalui Internet dengan cara membuat badan usaha tetap (BUT) paling lambat Maret 2017 atau akan diblokir di Indonesia.
Evita Nursanty, Anggota Komisi I DPR mendesak Google dan seluruh pemain over the top (OTT) asing lainnya agar menghormati regulasi yang telah ditetapkan pemerintah terhadap pemain asing untuk membuat BUT dan membayar pajak tetap.
Dengan demikian, OTT asing tersebut tidak hanya meraup keuntungan dari negara, tetapi juga memberikan kontribusi dalam bentuk pajak. Google sendiri telah meraup keuntungan pada transaksi bisnis periklanan di dunia digital mencapai angka sebesar US$850 juta atau setara dengan 11,6 triliun pada 2015.
"Sebenarnya Google, Facebook, Yahoo dan Twitter ini cuma bayar pajak PPh karyawan. Tapi untuk PPh badan yang diperoleh tidak bayar sama sekali. Termasuk Pajak Pertambangan Nilai (PPN) dan PPh sesui Pasal 26 untuk wajib pajak dari luar negeri," tuturnya kepada Bisnis di Jakarta, Senin (19 September 2016).
Dia juga mendesak Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) serta Dirjen Pajak untuk terus mengejar pajak dari Google yang dinilai telah merugikan negara selama ini. Evita juga mengimbau pemerintah agar berkiblat kepada negara maju untuk menghadapi Google seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Prancis yang telah menyegel kantor Google karena tidak membayar pajak kepada negaranya.
"Kita juga menyarankan agar pemerintah belajar dari Inggris yang punya masalah serupa, meskipun kita tahu teman-teman di Kemkominfo sangat paham tentang persoalan ini," katanya.
Menurut Evita, jika Google berkukuh tidak ingin membayar pajak kepada Indonesia, dia mendesak pemerintah agar segera memblokir seluruh layanan Google di Indonesia, hingga membayar pajak. "Google harus fair dong, mereka sudah mengambil banyak manfaat dari Indonesia. Saya harap Google bisa memahami ini," ujarnya.
Ketua Umum Asosiasi Piranti Lunak Telematika Indonesia (Aspiluki) Djarot Subiantoro mengakui dewasa ini transaksi online yang dilakukan oleh Google dinilai terlalu rumit, lantaran model bisnisnya tidak konvensional.
Dia juga menilai perangkat baik teknis maupun regulasi pendeteksi transaksi online dewasa ini dinilai masih belum tersedia untuk model bisnis yang dilakukan oleh Google dan seluruh pemain OTT asing lainnya.
"Transaksi online memang relatif rumit karena model bisnis yang tidak konvensional dan perangkat pendeteksinya pun masih belum tersedia," katanya.
Dia juga mengatakan Google juga harus segera diaudit pajak oleh auditor pajak online yang memiliki pengalaman di bidangnya. Setelah itu, menurut Djarot, hasil audit pajak Google disampaikan kepada publik agar kemudian dapat diambil keputusan sesuai dengan regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah.
"Google harus diaudit dan hasil audit pajaknya harus disampakian kemudian diambil keputusan yang sesuai. Auditornya juga harus yang memiliki pengalaman dalam hal tax online," tukasnya.
Sebelumnya, BRTI berencana mengultimatum seluruh pemain OTT dan e-commerce asing agar membentuk Badan Usaha Tetap (BUT) selambat-lambatnya Maret 2017 setelah RPM Penyediaan Layanan Aplikasi atau Konten Melalui Internet rampung pada semester I/2016.
Nantinya, seluruh pemain OTT asing harus membuat BUT selambat-lambatnya sembilan bulan setelah Peraturan Menteri diterbitkan pada semester I/2016, artinya batas maksimal pemain OTT untuk membentuk BUT adalah Maret 2017. Kemudian, jika pemain OTT asing tidak membentuk BUT pada Maret 2017, layanan OTT itu segera diblokir oleh Kemkominfo.