TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia meminta sektor swasta berhati-hati mengelola utang luar negeri (ULN). Sebab, ada sejumlah risiko yang membayangi. Terlebih, jumlah utang luar negeri swasta jumlahnya terus meningkat, melebihi ULN publik atau pemerintah.
"Kita mengeluarkan peraturan dan peringatan untuk kehati-hatian," ujar Gubernur Bank Indonesia, Agus D.W. Martowardojo, di Kompleks Bank Indonesia, Thamrin, Jakarta, Senin, 19 September 2016.
Agus menjelaskan, dalam mengelola utang luar negeri miliknya, sektor swasta harus memenuhi rasio lindung nilai (hedging) dan kredit rating yang telah ditetapkan. "Sehingga, utang luar negeri akan terjaga dengan baik dan meminimalisasi risiko," katanya.
Agus mengungkapkan sebagian besar utang luar negeri untuk tenor jangka panjang telah memenuhi ketentuan tersebut. BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menambahkan syarat utang luar negeri swasta yang diperoleh dari korporasi non-bank harus mendapat persetujuan terlebih dahulu.
Agus menjelaskan ada faktor yang mempengaruhi kemampuan swasta memenuhi pembayaran utang luar negeri, yaitu harga komoditas yang tengah menurun dan cukup menambah beban sektor swasta. Maka, menurut dia sektor swasta yang berutang harus lebih bijak mengelola utang luar negeri miliknya. "Berutang itu tidak apa-apa asal digunakan untuk kegiatan produktif," katanya lagi.
Posisi utang luar negeri sektor swasta pada akhir kuartal II tahun ini mencapai US$ 165,1 miliar atau 51 persen dari total utang luar negeri. Sedangkan, sektor publik sebesar US$ 158,7 miliar atau 49 persen dari total utang luar negeri.
GHOIDA RAHMAH