TEMPO.CO, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo memprediksi pertumbuhan kredit perbankan di Indonesia tahun depan akan meningkat menjadi 11 persen. Hal itu seiring dengan masuknya dana segar ke lembaga keuangan Indonesia melalui program pengampunan pajak (tax amnesty), sehingga membuat likuiditas perbankan hingga semester 1 2016 terjaga.
Bank sentral, kata Agus, melihat pengampunan pajak yang ditawarkan di semester kedua dan semester awal 2017 akan membawa dana masuk ke Indonesia cukup banyak. “Jadi secara umum kami lihat likuiditas di 2017 akan cukup terjaga," ujar Agus Martowardojo di Bank Indonesia, Jumat, 9 September 2016.
Namun, menurut Agus, proyeksi pertumbuhan kredit tahun depan masih dapat berubah karena saat ini pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sedang membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2017. Adapun pertumbuhan kredit sebesar 11 persen diperdagangkan akan terjadi dengan asumsi pertumbuhan ekonomi pada APBN 2017 sebesar 5,1 persen.
Sedangkan pertumbuhan kredit diperkirakan akan berada di kisaran 12 persen apabila pemerintah dan DPR sepakat menetapkan target pertumbuhan berada di kisaran angka 5,2 persen. "Tapi kalau pertumbuhan ekonomi ada di kisaran 5,1 persen, mungkin pertumbuhan kredit sedikit lebih rendah," ujar Agus.
Agus menambahkan, penyebab rendahnya pertumbuhan kredit tahun ini disebabkan beberapa hal, di antaranya masih melemahnya pertumbuhan ekonomi dunia yang berada di bawah 3,5 persen. Yang perlu diwaspadai di antaranya adalah rencana Amerika sekarang tentang rencana mereka menaikkan Fed Fund Rate, tapi masih terus bimbang karena data belum mendukung secara berkesinambungan.
Selain itu, di Eropa sejak Inggris memutuskan keluar dari Uni Eropa membuat pertumbuhan ekonomi di sana turun, dan menyebabkan negara berkembang terkena dampak karena harga komoditi yang tak kunjung naik. "Jadi kalau saya ingin merespons terkait pertumbuhan ekonomi dunia, kami sangat sejalan, bahwa ekonomi dunia masih lemah,” tuturnya.
Ada perbaikan, menurut Agus, tetapi belum seperti yang diharapkan bahkan masih ada risiko nonekonomi. “Seperti risiko konflik, geopolitik, pengungsian, dan terorisme," ujarnya. Dari sisi dalam negeri, angka kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) yang masih tinggi di Indonesia juga membuat perbankan lebih selektif menyalurkan kreditnya.
Pertengahan Agustus lalu, Bank Indonesia memang memutuskan menurunkan proyeksi pertumbuhan kredit dari sebelumnya 10-11 persen menjadi 7-9 persen. Bahkan Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menyatakan pertumbuhan kredit secara year-to-date masih di bawah 3 persen. Walaupun begitu, dia yakin perbaikan akan terjadi pada semester kedua. Ini sejalan dengan konsumsi sektor swasta pada semester kedua 2016 yang diprediksi meningkat.
DESTRIANITA