TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo tak menampik pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa program pengampunan pajak (tax amnesty) akan memicu keresahan masyarakat. Keresahan inilah yang berujung penurunan jumlah belanja rumah tangga.
Menurut Prastowo, hal itu terjadi karena kurangnya informasi yang diterima publik, sedangkan tenggat pengampunan pajak terbilang mepet. "Karena komunikasi, saya kira," katanya kepada Tempo, Jumat, 26 Agustus 2016.
Program tax amnesty mengacu pada kata kunci “ungkap”, “tebus”, dan “lega”. Wajib pajak diminta melaporkan aset dan harta yang belum dilakukan dalam surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak 2015. Jika tak mengikuti program itu, wajib pajak harus melakukan pembetulan SPT pajak 2015.
Wajib pajak dipersilakan melaporkan harta atau aset yang belum dilaporkan pada 2015 sesuai dengan harga pasar yang wajar. Harta dan aset bisa berupa perhiasan, barang seni, rumah, tanah, uang, deposito, saham, atau obligasi.
Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia Ferdinand Hutahaean khawatir, tanpa penjelasan yang tepat, publik akan antipati terhadap program amnesti pajak. Padahal, awalnya, publik mengira pengampunan pajak hanya akan menyasar pengusaha besar yang masih memarkir dananya di luar negeri.
Ditambah, kata Ferdinand, perekonomian sedang sulit saat ini. "Setelah gagal menarik uang dari luar, sekarang pemerintah menjadikan rakyatnya sebagai target tax amnesty," katanya.
Ferdinand menjelaskan, keresahan publik di antaranya terlihat dari simpang-siurnya informasi tentang harta apa saja yang harus dideklarasikan dan dana tebusan yang harus dibayarkan. Untuk menjawab keresahan itu, Prastowo mengajukan beberapa opsi.
Opsi pertama yang ditawarkan Prastowo adalah pemerintah diharapkan mau memberi kesempatan melakukan pembetulan SPT bagi mereka yang sudah membayar pajak penghasilan tapi belum melaporkan hartanya. "Beri opsi dan fasilitasi mereka," ujarnya.
Pemerintah diharapkan juga mampu menyediakan formulir khusus untuk menampung harta yang sumbernya dari penghasilan bukan obyek atau yang sudah dibayar dan dilaporkan dalam SPT. "Lalu pemberlakuan tarif sebesar 0,5 persen untuk semua wajib pajak yang melaporkan harta tidak melebihi Rp 5 miliar," tuturnya.
LARISSA HUDA